Syariat
Orang Sebelum Kita (Syar’u Man Qablana)
Syariat
umat sebelum kita kedudukannya menjadi syariat kita juga. Hal itu jika
al-Qur’an dan sunnah telah menegaskan bahwasanya syariat tersebut diwajibkan
baik untuk mereka (orang-orang sebelum kita) dan juga kepada kita untuk
mengamalkannya, seperti puasa dan qishos. Tapi jika seandainya al-Qur’an dan
sunnah nabimenegaskan bahwa syariat orang sebelum kita itu telah di nasakh
(dihapus) hukumnya maka tidak ada perselisihan lagi bahwa itu bukan syariat
kita. Seperti syariat nabi Musa, bahwa orang yang berdosa tidak dapat menebus
dosanya kecuali ia harus membunuh dirinya sendiri. Juga pakaian yang terkena najis
tidak bisa disucikan kecuali memotong bagian yang terkena najis. Syariat ini
tidak berlaku bagi umat nabi Muhammad.
Menurut
Abu Zahrah ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam melihat syariat
orang sebelum kita, sedikitnya ada tiga hal:
1. Syariat
orang sebelum kita itu harus diceritakan dengan bersandarkan kepada
sumber-sumber yang menjadi pedoman ajaran Islam.
2. Apabila
syariat orang sebelum kita telah di nasakh (dihapus) maka tidak boleh
diamalkan, berarti syariat itu khusus untuk mereka dan tidak berlaku bagi kita.
3. Bahwa
dikokohkannya syariat itu berlaku untuk mereka (umat sebelum kita) dan juga
untuk kita didasari oleh nash Islam bukan oleh cerita orang-orang terdahulu.[1]
Pendapat Imam Mazhab:
1. Jumhur
ulama Hanafiah dan sebagian ulama Hanafiah serta sebagian Syafi’iyah
berpendapat bahwa hukum mereka adalah syariat untuk kita dan kita wajib
mengamalkannya selama tidak ada nash yang menghapusnya. Karena hukum-hukum yang
ditetapkan kepada mereka juga hukum yang berasal dari Allah melalui para Rasul-Nya.
2. Sebagian
ulama berpendapat bahwa syariat kita adalah menghapus syariat-syariat terdahulu
kecuali dalam syariat kita ada yang menetapkannya.[2]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar