BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Ilmu Ushul Fiqih merupakan
salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin
menjalankan atau melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum
dalam Islam. Itulah sebabnya tidak mengherankan jika dalam pembahasan kriteria
seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat
mutlaknya. Atau dengan kata lain, untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath
tetap berada pada koridor yang semestinya, Ushul Fiqih-lah salah satu
“penjaga”nya.
Meskipun demikian, ada satu fakta
yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta
merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para
mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri –seperti
penentuan keshahihan suatu hadits misalnya-, internal Ushul Fiqih
sendiri –pada sebagian masalahnya- mengalami perdebatan (ikhtilaf) di
kalangan para Ushuluyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah
(sebagian ahli Ushul menyebutnya : al-Ushul al-Mukhtalaf fiha),
atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan
penyimpulan hukum. Salah satu dalil itu adalah apa yang dikenal dengan al-Istihsan
(selanjutnya disebut sebagai Istihsan).
Dalam makalah ini, penulis akan
memaparkan beberapa hal yang berkaitan dengan masalah al-Istihsan,
pandangan para ulama tentangnya,serta beberapa hal lain yang terkait dengannya.
Untuk pembahasan selengkapnya akan diuraikan pada bab selanjutnya.
2.
Rumusan Masalah
a.
Pengertian
Al-Ihtisan Secara Etimologi dan Terminologi Menuurt Ulama Hanafiyah Malikiyah!
b.
Kaitan Antara
Istihsan dan Qiyas Secara Status Kehujahannya Menurut Beberapa Mazhab
c.
Pembagian
Istihsan menurut ulama Hanafiah beserta contohnya
d.
Pengertian,
contoh dan penjelasan singkat untuk Istihsan Qiyas dan Istihsan Ijma’
e.
Istihsan
Darurat Dengan Status Hukumnya
f.
Kehujahan
istihsan dan pandangan para ulama
g.
Alasan Ulama
Syafi’iyah dan Sepahamnya Yang Menolak Istihsan Sebagai Dalil
h.
Pendapat Ulama
Malikiyah Tentang Penggunaan Istihsan Sebagaimana Hujjah (Dalil Syari’ah)
i.
Keistimewaan
dan Keuntungan Berpegang pada Istihsan Hanafiyah, dan Kekurangan dan Kerugian Dalam Pelaksanaan Syariat Islam
BAB II
PEMBAHASAN
ISTIHSAN DAN MASALAH-MASALAHNYA
A.
Pengertian Al-Ihtisan Secara Etimologi dan
Terminologi Menuurt Ulama Hanafiyah Malikiyah!
Al-Istihsan
menurut bahasa adalah “menganggap sesuatu itu baik”. Atau mengikuti sesuatu
yang lebih baik atau mencari yang lebih baik atau mencari yang lebih baik untuk
diikuti. Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda memberikan pengertian.
Menurut Ulama Hanafiyah: “Beralih pandangan dari satu dalil
qiyas kepada qiyas lain yang lebih kuat atau mengecualikan qiyas dengan
argumentasi yang lebih kuat”. Menurut
Ulama Malikiyah: “Mengutamakan meninggalkan pengertian suatu
dalil dengan cara istisna’ (pengecualian) dan tarkhis
(berdasarkan pada keringanan agama), karena adanya suatu hal yang bertentangan
dengan sebagian pengertian.
B. Kaitan
Antara Istihsan dan Qiyas Secara Status Kehujahannya Menurut Beberapa Mazhab
Isitihsan dapat dijadikan sumber hukum bagi mazhab
Hanafi, Maliki, dan Mazhab Hambali ini didasari oleh alasan logis:
1.
Istihsan itu
hanyalah istidlal (berdalil) dengan qiyas khafi yang memang atas qiyas jail
atau berhujjah dengan maslahah mursalah (kepentingan umum), atas penecualian
bagian hukum kulli. Semua itu adalah istidlal yang dibenarkan.
2.
Istishan pada
hakikatnya bukan sumber hukum yang mandiri. Karena dalam penetapan hukum yang
berdasar istihsan harus ada faktor-faktor yang memenanggkannya sebagai dalil
yang dapat membenarkannya atau dengan jalan istislah. Dengan cara demikian maka
hati mereka menjadi tentram.
C. Pembagian
Istihsan menurut ulama Hanafiah beserta contohnya
Pembagian Istihsan
menurut Ulama Hanafiyah terbagi kepada : Istihsan sunnah, Istihsan ijma, dan
Istihsan darurat.
1.
Istihsan
sunnah
Istihsan
yang disebabkan oleh adanya ketetapan sunnah yang harus meninggalkan dalil
qiyas pada kasus yyang bersangkutan. Contoh sahnya puasa orang yang makan atau
minum disiang hari karena lupa. Mennurut qiyas puasa itu batal. Akan tetapi
qiiyas disini harus ditolak karena berlawanan dengan riwayat (hadits).
2.
Istihsan
ijma’
Istihsan
yang meninggalkan qiyas karena adanya ijma’ ulama yang menetapkan hokum yang
berbeda dari tuntutan qiyas. Contoh, ketetapan ijma’ tentang sahnya akad
istihshna’( pesanan ). Menurut qiyas semestinya akad itu batal sebab barang
yang diakadkan belum ada. Akan tatapi, masyarakat seluruhnya telah
melakukannya, maka hal itu dipandang sebagai ijma’ atau urf am (tradisi) yang
dapat mengalahkan dalil qiyas.[1]
3.
Istihsan
darurat
Istihsan
yang disebabkan karena adanya dlarurat(terpaksa) karena adanya suatu masalah
yang mendorong mujtahid untuk meninggalakan dalil qiyas. Contoh: membersihkan
kolam atau sumur. Menurut qiyas tak mungkin kita menuangkan air kedalam kolam
atau sumur supaya bersih. Oleh Karen itu ditetapkanlah bahwa sumur itu
disucikan dengan menimbakan airnya, karena terpaksa berbuat demikian (karena
tak dapat kita lakukan yang lain dari pada yang itu.
D. Pengertian,
contoh dan penjelasan singkat untuk Istihsan Qiyas dan Istihsan Ijma’
Istihsan Qiyasi adalah Istihsan yang sandarannya
kepada qiyas khafi, dalam istilah ini seorang ulama meninggalkan qiyas jail
kemudian berpegang kepada qiyas khafi karena ada kemaslahatan. Contohnya, dalam
kasus mewakafkan tanah yang terdapat didalamnya jalan dan sumber air minum.
Istihsan Ijma’ adalah Istihsan yang meninggalkan
qiyas karna adanya ijma’ ulama yang menetapkan hukum yang berbeda dari tuntutan
qiyas. Contohnya, ketetapan ijma’ tentang sahnya akad istihshna’ (pesanan).
Menurut qiyas semestinya akad itu batal sebab barang yang diakadkan belum ada.
Akan tetapi, masyarakat seluruhnya telah melakukannya, maka hal itu dipandang
sebagai ijma’ atau ‘urf am (tradisi) yang dapat mengalahkan dalil qiyas.
E.
Istihsan Darurat Dengan Status Hukumnya
Dalam hal ini si mujtahid tidak
menggunakan dalil yang secara umum harus diikuti karena adanya keadaan darurat
yang menghendaki pengecualian. Istihsan dalam bentuk ini disebut istihsan
al-dharurah. Umpanya tidak diberlakukannya hukuman potong tangan terhadap
pencuri karena pencurian itu dilakuakan untuk mempertahankan hidup atau
dharurat, sebagaimana telah disebutkan di atas .[2]
F.
Kehujahan istihsan dan pandangan para ulama
Ada dua keleompok pendapat ulama tentang kehujahan
istishan sebagai sumber hokum, yaitu kelompok yang menerima dan kelompok yang
menolak.
1.
Mazhab hanafi, Maliki, dan Mazhab
Hambali adalah kelompok yang menerima Istishan sebagai sumber hokum. Dengan
demikian mereka menggunakan istishan dalam ijtihadnya.Dasar yang mereka gunakan
adalah:[3]
Artinya:
“orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang paling baik diantaranya.
Mereka itulah orang-oang yang telahdiberi Allah petunjuk dan mereka itulah
mempunyai akal” (Al-Zumar/39 ayat 18).
Dalam
referensi ditemukan juga yaitu mengenai Kehujjahan al-Istihsan menurut
Jumhur Malikiyah dan Hanabilah menetapkan bahwa al-Istihsan
adalah suatu dalil syar’i yang dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum
terhadap sesuatu yang ditetapkan oleh qiyas atau keumuman nash.
Dan menurut Ulama Hanafiyah menggunakan al-Istihsan ini dengan alasan
bahwa berdalil dengan al-Istihsan itu sebenarnya sama dengan berdalil
dengan qiyas khafy atau berdalil dengan istislah, kesemuanya
dapat diterima.[4]
2.
Mazhab al-Syafi’i, adalah kelompok yang
menolak keberadaan istihsan sebagai sumber hukum dan al-Istihsan itu
sekali-kali bukan dalil syar’i. Mazhab ini menganggap orang yang menggunakan al-Istihsan
sama dengan menetapkan syari’at berdasarkan hawa nafsu atau berdasarkan
pendapat sendiri yang mungkin benar dan mungkin pula salah. Dasar yang mereka
gunakan adalah:
Artinya:
keterangan-keterangan (mukjizat) dan kittab-kitab, dan kami tuurnkan kepadamu
al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah dituurnkan
kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.[5]
G.
Alasan Ulama Syafi’iyah dan Sepahamnya Yang Menolak Istihsan
Sebagai Dalil
Ulama
Syafi’iyah memiliki pandangan yang berbeda mengenai istihsan. Menururt Imam
Syafi’i dengan qaulnya yang mashur, bahwa” barang siapa yng berhujjah
dengan istihsan maka ia telah membuat sendiri hukum syara”.
Imam syafi’i berkeyakinan bahwa
berhujah dengan istihsan, berarti telah menentukan syariat baru, sedangkan yang
berhak membuat syariat itu hanyalah Allah SWT.dari sinilah terlihat bahwa Imam
Syafi’i beserta pengikutnya cukup keras dalam menolak masalah istihsan ini.
Alasan alasan Syafi'i menolak
istihsan:
1)
Mengambil
Istihsan sebagai hujjah agama artinya tidak berhukum dengan nash. Orang yang
melakukan istihsan berarti dalam keadaan "suda", yaitu menetapkan
hukum dengan menyalahi al Qur'an dan sunnah.
2)
Melakukan
istihsan berarti menentang ayat ayat al Qur'an yang memerintahkan agar
mengikuti wahyu dan menetapkan hukum sesuai dengan kebenaran (al haq) yang
diturunkan Allah dan mengikuti hawa nafsu.
3)
Rosulullah
mengingkari hukum yang diterapkan shohabat yang mendasarkan dengan istihsan,
yaitu mereka membunuh laki laki yang melekat pada pohon.
4)
Istihsan
adalah menetapkan hukum berdasar maslahah. Jika maslahah itu sesuai dalam nash
dibolehkan, tetapi maslahah yang dijadikan pedoman dalam istihsan adalan
maslahah menurut para ulama'.
5)
Rosulullah
SAW ketika menghukumi persoalan yang belum ada dalam al Qur'an tidak
menggunakan istihsan, melainkan menunggu turunnya wahyu.
Dilihat dari paradigma yang dipakai
oleh ulama Hanafiah, Imam Safi’i berpegang bahwa berhujjah dengan istihsan
berarti Ia telah mengikuti hawa nafsunya . Sedangkan istihsan yang dimaksud
ulama Hanafiah adalah berhujjah berdasarkan dalil yang lebih kuat. Adapun dalil
yang disodorkan ulama hanafiah mengenai istihsan, seperti surat az-zumar ayat
18 dan hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Ahmad, ulama safi’iyah berpendapat
bahwa dalam surat Az-Zumar ayat 18, tidak menunjukan adanya istihsan, juga
tidak menunjukkan wajibnya mengikuti perkataan yang baik. Kemudian mengenai
kutipan hadis diatas, mengisaratkan adanya ijma’ kaum muslimin. Sedangkan ijma
merupakan hujjah yang bersumber dari dalil. Jadi hadis tersebut tidak berarti
setiap orang yang memandang suatu urusan itu baik, maka baik pula menurut
Allah. Inilah pemahaman yang seharusnya tidak ada dalam benak kaum muslimin.[6]
Selain Imam Syafi’I kalangan ulama
zhahiriyah juga menolak penggunaan qiyas secara prinsip, demikian pula ulama
syi’ah dan sebagian ulama kalam mu’tazilah karena mereka tidak menerima qiyas,
maka dengan sendrinya mereka pun menolak istihsan karena kedudukan istihsan
dalam posisinya sebagai dalil hukum adalah lebih rendah dari qiyas
Selain dari kalangan ulama zhahiriyah yang sependapat dengan imam
syafi’I ada juga para ulama yang menolak istihsan dengan alasan yang dituntut
dari kaum muslimin untuk diikuti adalah hukum yang ditetapkan Allah atau yang
ditetapkan Rasul atau hukum yang di qiyaskan kepada hukum Allah dan hukum Rasul
itu. Sedangkan hukum yang ditetapkan berdasarkan apa yang di anggap baik oleh
mujtahid adalah hukum buatan manusia dan bukan hukum syar’i.
Selain dari kalangan ulama zhahiriyah yang sependapat dengan imam
syafi’i ada juga para ulama yang menolak istihsan dengan alasan yang dituntut
dari kaum muslimin untuk diikuti adalah hukum yang ditetapkan Allah atau yang
ditetapkan Rasul atau hukum yang di qiyaskan kepada hukum Allah dan hukum Rasul
itu. Sedangkan hukum yang ditetapkan berdasarkan apa yang di anggap baik oleh
mujtahid adalah hukum buatan manusia dan bukan hukum syar’i.[7]
H.
Pendapat Ulama Malikiyah Tentang Penggunaan Istihsan Sebagaimana
Hujjah (Dalil Syari’ah)
Menurut
Madzhab Maliki, istihsan adalah salah satu metode istinbat (menyimpulkan)
hukum yang diakui diambil secara induktif (istiqro’i) dari sejumlah dalil
secara keseluruhan (jumlah). Dengan demikian orang yang menggunakan istihsan
tidak berarti semata-mata mengunakan perasaannya dan keinginannya yang
subjektif, tetapi berdasarkan tujuan (maqosid) syara’. Karena apabila kias yang
diamalkan maka tujuan syarak dalam menurunkan hukum tidak akan tercapai. Misalnya,
membuka aurat untuk keperluan pengobatan dalam rangka mencari penyembuhan suatu
penyakit, apabila kias yang diamalkan maka aurat tidak boleh dibuka untuk
keperluan pengobatan, maka upaya pengobatan tidak bisa dilakukan, dan ini
berarti menimbulkan kesulitan.
Selain itu Ia juga berpendapat bahwa
al-istihsan adalah mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang
bersifat kully (menyeluruh) dengan mengutamakan al-istidlal al-mursal
daripada qiyas. Dari Ta’rif di atas, jelas bahwa al-istihsan lebih mementingkan
maslahah juz’iyyah atau maslahah tertentu dibandingkan dengan dalil kully atau
dalil yang umum atau dalam kata lain sering dikatakan bahwa al-istihsan adalah
beralih dari satu qiyas ke qiyas yang lain yang dianggap lebih kuat dilihat
dari tujuan syari’at diturunkan. Tegasnya, al-istihsan selalu melihat dampak
sesuatu ketentuan hukum, jangan sampai membawa dampak merugikan tapi harus
mendatangkan maslahah atau menghindari madarat, namun bukan berarti istihsan
adalah menetapkan hukum atas dasar ra’yu semata, melainkan berpindah dari satu
dalil ke dalil yang lebih kuat yang kandungannya berbeda. Dalil kedua ini dapat
berwujud ijma’, ‘urf atau al-maslahah al-mursalah.[8]
I.
Keistimewaan dan Keuntungan Berpegang pada Istihsan Hanafiyah, dan
Kekurangan dan Kerugian Dalam Pelaksanaan Syariat Islam
a.
Keistimewaan dan Keuntungannya
Imam Hanafi
tercatat paling banyak menggunakan istihsan dalam beberapa fatwanya. Ia berpendapat
dalam posisi istihsan ini, melakukan istihsan lebih utama dari pada melakukan
qiyas, pun pengambilan dalil yang lebih kuat diutamakan dari dalil yang lemah. Meskipun
imam Hanafi tidak merumuskan sendiri pengertian istihsan sebagai dalil
istimbat hukum, murid-muridnya menegaskan bahwa pengamalan istihsan adalah
mengamalkan dalil syar’i, bukan berdasarkan hawa nafsu dan subjektifitas, sebagaimana
ulama lain menuduh Imam Hanafi telah meninggalkan nash dan menyia-nyiakan
dalil.
b.
Kekurangan dan Kerugiannya
Dan jika kita kembali mencermati pandangan dan
argumentasi ulama yang menolak istihsān, kita dapat melihat bahwa yang
mendorong mereka menolaknya adalah karena kehati-hatian dan kekhawatiran mereka
jika seorang mujtahid terjebak dalam penolakan terhadap nash dan lebih memilih
hasil olahan logikanya sendiri. Dan kekhawatiran ini telah terjawab dengan
penjelasan sebelumnya, yaitu bahwa istihsān sendiri mempunyai batasan
yang harus diikuti. Dengan kata lain, para pendukung pendapat kedua ini
sebenarnya hanya menolak istihsān yang hanya dilandasi oleh logika
semata, tanpa dikuatkan oleh dalil yang lebih kuat.
BAB III
KESIMPULAN
Menurut
Ulama Hanafiyah: “Beralih pandangan dari satu dalil qiyas
kepada qiyas lain yang lebih kuat atau mengecualikan qiyas dengan argumentasi
yang lebih kuat”. Menurut
Ulama Malikiyah: “Mengutamakan meninggalkan pengertian suatu
dalil dengan cara istisna’ (pengecualian) dan tarkhis (berdasarkan
pada keringanan agama), karena adanya suatu hal yang bertentangan dengan
sebagian pengertian.
Pembagian Istihsan menurut Ulama
Hanafiyah terbagi menjadi tiga, antara lain:
1. Istihsan sunnah,
2. Istihsan ijma, dan
3. Istihsan darurat.
Ulama Syafi’iyah memiliki pandangan yang berbeda
mengenai istihsan. Menururt Imam Syafi’i dengan qaulnya yang mashur,
bahwa” barang siapa yng berhujjah dengan istihsan maka ia telah membuat
sendiri hukum syara”. Imam
syafi’i berkeyakinan bahwa berhujah dengan istihsan, berarti telah menentukan
syariat baru, sedangkan yang berhak membuat syariat itu hanyalah Allah SWT.dari
sinilah terlihat bahwa Imam Syafi’i beserta pengikutnya cukup keras dalam
menolak masalah istihsan ini.
Menurut Madzhab Maliki, istihsan adalah
salah satu metode istinbat (menyimpulkan) hukum yang diakui diambil secara
induktif (istiqro’i) dari sejumlah dalil secara keseluruhan (jumlah). Dengan
demikian orang yang menggunakan istihsan tidak berarti semata-mata mengunakan
perasaannya dan keinginannya yang subjektif, tetapi berdasarkan tujuan
(maqosid) syara’.
Imam Hanafi tercatat
paling banyak menggunakan istihsan dalam beberapa fatwanya. Ia berpendapat
dalam posisi istihsan ini, melakukan istihsan lebih utama dari pada melakukan qiyas,
pun pengambilan dalil yang lebih kuat diutamakan dari dalil yang lemah.
[1] http://blog.umy.ac.id/retnoeno/metode-ijtihad/al-istihsan
[2]
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh,
(Jakarta:Logos, 2001), hal. 312
[3]
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqih,
(Jakarta: kencana, 2011), cet. Ke-1, hal. 82
[4] Sapiudin
Shidiq, Ushul Fiqih, (Jakarta:
kencana, 2011), cet. Ke-1, hal. 86
[5]
Iskandar Usman, Istishan dan Pembaharuan
Hukum Islam, (Jakarta: Pt Raja Grafindo, 1994), cet ke-1, hal.64)
[6] www.facebook.com/note.php?note_id=10150477985977162
[7]
Amir Syarifuddin, Ushul fiqh, (Jakarta: Logos, 2001), hal. 313-314
Tidak ada komentar:
Posting Komentar