Sabtu, 21 April 2012

Makalah Istihsan & masalah-masalahnya

BAB I
PENDAHULUAN
1.        Latar Belakang
Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin menjalankan atau melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya tidak mengherankan jika dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya. Atau dengan kata lain, untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath  tetap berada pada koridor yang semestinya, Ushul Fiqih-lah salah satu “penjaga”nya.
Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri –seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya-, internal Ushul Fiqih sendiri –pada sebagian masalahnya- mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuluyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian ahli Ushul menyebutnya : al-Ushul al-Mukhtalaf fiha), atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum. Salah satu dalil itu adalah apa yang dikenal dengan al-Istihsan (selanjutnya disebut sebagai Istihsan).
Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan beberapa hal yang berkaitan dengan masalah al-Istihsan,  pandangan para ulama tentangnya,serta beberapa hal lain yang terkait dengannya. Untuk pembahasan selengkapnya akan diuraikan pada bab selanjutnya.

2.        Rumusan Masalah
a.         Pengertian Al-Ihtisan Secara Etimologi dan Terminologi Menuurt Ulama Hanafiyah Malikiyah!
b.         Kaitan Antara Istihsan dan Qiyas Secara Status Kehujahannya Menurut Beberapa Mazhab
c.         Pembagian Istihsan menurut ulama Hanafiah beserta contohnya
d.        Pengertian, contoh dan penjelasan singkat untuk Istihsan Qiyas dan Istihsan Ijma’
e.         Istihsan Darurat Dengan Status Hukumnya
f.          Kehujahan istihsan dan pandangan para ulama
g.         Alasan Ulama Syafi’iyah dan Sepahamnya Yang Menolak Istihsan Sebagai Dalil
h.         Pendapat Ulama Malikiyah Tentang Penggunaan Istihsan Sebagaimana Hujjah (Dalil Syari’ah)
i.           Keistimewaan dan Keuntungan Berpegang pada Istihsan Hanafiyah, dan Kekurangan dan Kerugian Dalam Pelaksanaan Syariat Islam
BAB II
PEMBAHASAN
ISTIHSAN DAN MASALAH-MASALAHNYA

A.      Pengertian Al-Ihtisan Secara Etimologi dan Terminologi Menuurt Ulama Hanafiyah Malikiyah!
Al-Istihsan menurut bahasa adalah “menganggap sesuatu itu baik”. Atau mengikuti sesuatu yang lebih baik atau mencari yang lebih baik atau mencari yang lebih baik untuk diikuti. Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda memberikan pengertian. Menurut Ulama Hanafiyah: “Beralih pandangan dari satu dalil qiyas kepada qiyas lain yang lebih kuat atau mengecualikan qiyas dengan argumentasi yang lebih kuat”. Menurut Ulama Malikiyah: “Mengutamakan meninggalkan pengertian suatu dalil dengan cara istisna’ (pengecualian) dan tarkhis (berdasarkan pada keringanan agama), karena adanya suatu hal yang bertentangan dengan sebagian pengertian.

B.       Kaitan Antara Istihsan dan Qiyas Secara Status Kehujahannya Menurut Beberapa Mazhab
Isitihsan dapat dijadikan sumber hukum bagi mazhab Hanafi, Maliki, dan Mazhab Hambali ini didasari oleh alasan logis:
1.         Istihsan itu hanyalah istidlal (berdalil) dengan qiyas khafi yang memang atas qiyas jail atau berhujjah dengan maslahah mursalah (kepentingan umum), atas penecualian bagian hukum kulli. Semua itu adalah istidlal yang dibenarkan.
2.         Istishan pada hakikatnya bukan sumber hukum yang mandiri. Karena dalam penetapan hukum yang berdasar istihsan harus ada faktor-faktor yang memenanggkannya sebagai dalil yang dapat membenarkannya atau dengan jalan istislah. Dengan cara demikian maka hati mereka menjadi tentram.

C.      Pembagian Istihsan menurut ulama Hanafiah beserta contohnya
Pembagian Istihsan menurut Ulama Hanafiyah terbagi kepada : Istihsan sunnah, Istihsan ijma, dan Istihsan darurat.
1.         Istihsan sunnah
Istihsan yang disebabkan oleh adanya ketetapan sunnah yang harus meninggalkan dalil qiyas pada kasus yyang bersangkutan. Contoh sahnya puasa orang yang makan atau minum disiang hari karena lupa. Mennurut qiyas puasa itu batal. Akan tetapi qiiyas disini harus ditolak karena berlawanan dengan riwayat (hadits).
2.         Istihsan ijma’
Istihsan yang meninggalkan qiyas karena adanya ijma’ ulama yang menetapkan hokum yang berbeda dari tuntutan qiyas. Contoh, ketetapan ijma’ tentang sahnya akad istihshna’( pesanan ). Menurut qiyas semestinya akad itu batal sebab barang yang diakadkan belum ada. Akan tatapi, masyarakat seluruhnya telah melakukannya, maka hal itu dipandang sebagai ijma’ atau urf am (tradisi) yang dapat mengalahkan dalil qiyas.[1]
3.         Istihsan darurat
Istihsan yang disebabkan karena adanya dlarurat(terpaksa) karena adanya suatu masalah yang mendorong mujtahid untuk meninggalakan dalil qiyas. Contoh: membersihkan kolam atau sumur. Menurut qiyas tak mungkin kita menuangkan air kedalam kolam atau sumur supaya bersih. Oleh Karen itu ditetapkanlah bahwa sumur itu disucikan dengan menimbakan airnya, karena terpaksa berbuat demikian (karena tak dapat kita lakukan yang lain dari pada yang itu.

D.      Pengertian, contoh dan penjelasan singkat untuk Istihsan Qiyas dan Istihsan Ijma’
Istihsan Qiyasi adalah Istihsan yang sandarannya kepada qiyas khafi, dalam istilah ini seorang ulama meninggalkan qiyas jail kemudian berpegang kepada qiyas khafi karena ada kemaslahatan. Contohnya, dalam kasus mewakafkan tanah yang terdapat didalamnya jalan dan sumber air minum.
Istihsan Ijma’ adalah Istihsan yang meninggalkan qiyas karna adanya ijma’ ulama yang menetapkan hukum yang berbeda dari tuntutan qiyas. Contohnya, ketetapan ijma’ tentang sahnya akad istihshna’ (pesanan). Menurut qiyas semestinya akad itu batal sebab barang yang diakadkan belum ada. Akan tetapi, masyarakat seluruhnya telah melakukannya, maka hal itu dipandang sebagai ijma’ atau ‘urf am (tradisi) yang dapat mengalahkan dalil qiyas.

E.       Istihsan Darurat Dengan Status Hukumnya
       Dalam hal ini si mujtahid tidak menggunakan dalil yang secara umum harus diikuti karena adanya keadaan darurat yang menghendaki pengecualian. Istihsan dalam bentuk ini disebut istihsan al-dharurah. Umpanya tidak diberlakukannya hukuman potong tangan terhadap pencuri karena pencurian itu dilakuakan untuk mempertahankan hidup atau dharurat, sebagaimana telah disebutkan di atas .[2]

F.       Kehujahan istihsan dan pandangan para ulama
Ada dua keleompok pendapat ulama tentang kehujahan istishan sebagai sumber hokum, yaitu kelompok yang menerima dan kelompok yang menolak.
1.         Mazhab hanafi, Maliki, dan Mazhab Hambali adalah kelompok yang menerima Istishan sebagai sumber hokum. Dengan demikian mereka menggunakan istishan dalam ijtihadnya.Dasar yang mereka gunakan adalah:[3]
               


Artinya: “orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-oang yang telahdiberi Allah petunjuk dan mereka itulah mempunyai akal” (Al-Zumar/39 ayat 18).
Dalam referensi ditemukan juga yaitu mengenai Kehujjahan al-Istihsan menurut Jumhur Malikiyah dan Hanabilah menetapkan bahwa al-Istihsan adalah suatu dalil syar’i yang dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum terhadap sesuatu yang ditetapkan oleh qiyas atau keumuman nash. Dan menurut Ulama Hanafiyah menggunakan al-Istihsan ini dengan alasan bahwa berdalil dengan al-Istihsan itu sebenarnya sama dengan berdalil dengan qiyas khafy atau berdalil dengan istislah, kesemuanya dapat diterima.[4]
2.         Mazhab al-Syafi’i, adalah kelompok yang menolak keberadaan istihsan sebagai sumber hukum dan al-Istihsan itu sekali-kali bukan dalil syar’i. Mazhab ini menganggap orang yang menggunakan al-Istihsan sama dengan menetapkan syari’at berdasarkan hawa nafsu atau berdasarkan pendapat sendiri yang mungkin benar dan mungkin pula salah. Dasar yang mereka gunakan adalah:

Artinya: keterangan-keterangan (mukjizat) dan kittab-kitab, dan kami tuurnkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah dituurnkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.[5]

G.      Alasan Ulama Syafi’iyah dan Sepahamnya Yang Menolak Istihsan Sebagai Dalil
Ulama Syafi’iyah memiliki pandangan yang berbeda mengenai istihsan. Menururt Imam Syafi’i dengan qaulnya yang mashur, bahwa” barang siapa yng berhujjah dengan istihsan maka ia telah membuat sendiri hukum syara”.
Imam syafi’i berkeyakinan bahwa berhujah dengan istihsan, berarti telah menentukan syariat baru, sedangkan yang berhak membuat syariat itu hanyalah Allah SWT.dari sinilah terlihat bahwa Imam Syafi’i beserta pengikutnya cukup keras dalam menolak masalah istihsan ini.
Alasan alasan Syafi'i menolak istihsan:
1)        Mengambil Istihsan sebagai hujjah agama artinya tidak berhukum dengan nash. Orang yang melakukan istihsan berarti dalam keadaan "suda", yaitu menetapkan hukum dengan menyalahi al Qur'an dan sunnah.
2)        Melakukan istihsan berarti menentang ayat ayat al Qur'an yang memerintahkan agar mengikuti wahyu dan menetapkan hukum sesuai dengan kebenaran (al haq) yang diturunkan Allah dan mengikuti hawa nafsu.
3)        Rosulullah mengingkari hukum yang diterapkan shohabat yang mendasarkan dengan istihsan, yaitu mereka membunuh laki laki yang melekat pada pohon.
4)        Istihsan adalah menetapkan hukum berdasar maslahah. Jika maslahah itu sesuai dalam nash dibolehkan, tetapi maslahah yang dijadikan pedoman dalam istihsan adalan maslahah menurut para ulama'.
5)        Rosulullah SAW ketika menghukumi persoalan yang belum ada dalam al Qur'an tidak menggunakan istihsan, melainkan menunggu turunnya wahyu.
Dilihat dari paradigma yang dipakai oleh ulama Hanafiah, Imam Safi’i berpegang bahwa berhujjah dengan istihsan berarti Ia telah mengikuti hawa nafsunya . Sedangkan istihsan yang dimaksud ulama Hanafiah adalah berhujjah berdasarkan dalil yang lebih kuat. Adapun dalil yang disodorkan ulama hanafiah mengenai istihsan, seperti surat az-zumar ayat 18 dan hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Ahmad, ulama safi’iyah berpendapat bahwa dalam surat Az-Zumar ayat 18, tidak menunjukan adanya istihsan, juga tidak menunjukkan wajibnya mengikuti perkataan yang baik. Kemudian mengenai kutipan hadis diatas, mengisaratkan adanya ijma’ kaum muslimin. Sedangkan ijma merupakan hujjah yang bersumber dari dalil. Jadi hadis tersebut tidak berarti setiap orang yang memandang suatu urusan itu baik, maka baik pula menurut Allah. Inilah pemahaman yang seharusnya tidak ada dalam benak kaum muslimin.[6]
       Selain Imam Syafi’I kalangan ulama zhahiriyah juga menolak penggunaan qiyas secara prinsip, demikian pula ulama syi’ah dan sebagian ulama kalam mu’tazilah karena mereka tidak menerima qiyas, maka dengan sendrinya mereka pun menolak istihsan karena kedudukan istihsan dalam posisinya sebagai dalil hukum adalah lebih rendah dari qiyas
Selain dari kalangan ulama zhahiriyah yang sependapat dengan imam syafi’I ada juga para ulama yang menolak istihsan dengan alasan yang dituntut dari kaum muslimin untuk diikuti adalah hukum yang ditetapkan Allah atau yang ditetapkan Rasul atau hukum yang di qiyaskan kepada hukum Allah dan hukum Rasul itu. Sedangkan hukum yang ditetapkan berdasarkan apa yang di anggap baik oleh mujtahid adalah hukum buatan manusia dan bukan hukum syar’i.
Selain dari kalangan ulama zhahiriyah yang sependapat dengan imam syafi’i ada juga para ulama yang menolak istihsan dengan alasan yang dituntut dari kaum muslimin untuk diikuti adalah hukum yang ditetapkan Allah atau yang ditetapkan Rasul atau hukum yang di qiyaskan kepada hukum Allah dan hukum Rasul itu. Sedangkan hukum yang ditetapkan berdasarkan apa yang di anggap baik oleh mujtahid adalah hukum buatan manusia dan bukan hukum syar’i.[7]

H.      Pendapat Ulama Malikiyah Tentang Penggunaan Istihsan Sebagaimana Hujjah (Dalil Syari’ah)
Menurut Madzhab Maliki, istihsan adalah salah satu metode istinbat (menyimpulkan) hukum yang diakui diambil secara induktif (istiqro’i) dari sejumlah dalil secara keseluruhan (jumlah). Dengan demikian orang yang menggunakan istihsan tidak berarti semata-mata mengunakan perasaannya dan keinginannya yang subjektif, tetapi berdasarkan tujuan (maqosid) syara’. Karena apabila kias yang diamalkan maka tujuan syarak dalam menurunkan hukum tidak akan tercapai. Misalnya, membuka aurat untuk keperluan pengobatan dalam rangka mencari penyembuhan suatu penyakit, apabila kias yang diamalkan maka aurat tidak boleh dibuka untuk keperluan pengobatan, maka upaya pengobatan tidak bisa dilakukan, dan ini berarti menimbulkan kesulitan.
Selain itu Ia juga berpendapat bahwa al-istihsan adalah mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully (menyeluruh) dengan mengutamakan al-istidlal al-mursal daripada qiyas. Dari Ta’rif di atas, jelas bahwa al-istihsan lebih mementingkan maslahah juz’iyyah atau maslahah tertentu dibandingkan dengan dalil kully atau dalil yang umum atau dalam kata lain sering dikatakan bahwa al-istihsan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas yang lain yang dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan syari’at diturunkan. Tegasnya, al-istihsan selalu melihat dampak sesuatu ketentuan hukum, jangan sampai membawa dampak merugikan tapi harus mendatangkan maslahah atau menghindari madarat, namun bukan berarti istihsan adalah menetapkan hukum atas dasar ra’yu semata, melainkan berpindah dari satu dalil ke dalil yang lebih kuat yang kandungannya berbeda. Dalil kedua ini dapat berwujud ijma’, ‘urf  atau al-maslahah al-mursalah.[8]

I.         Keistimewaan dan Keuntungan Berpegang pada Istihsan Hanafiyah, dan Kekurangan dan Kerugian Dalam Pelaksanaan Syariat Islam
a.         Keistimewaan dan Keuntungannya
Imam Hanafi tercatat paling banyak menggunakan istihsan dalam beberapa fatwanya. Ia berpendapat dalam posisi istihsan ini, melakukan istihsan lebih utama dari pada melakukan qiyas, pun pengambilan dalil yang lebih kuat diutamakan dari dalil yang lemah. Meskipun imam Hanafi tidak merumuskan sendiri pengertian istihsan sebagai dalil istimbat hukum, murid-muridnya menegaskan bahwa pengamalan istihsan adalah mengamalkan dalil syar’i, bukan berdasarkan hawa nafsu dan subjektifitas, sebagaimana ulama lain menuduh Imam Hanafi telah meninggalkan nash dan menyia-nyiakan dalil.

b.         Kekurangan dan Kerugiannya
Dan jika kita kembali mencermati pandangan dan argumentasi ulama yang menolak istihsān, kita dapat melihat bahwa yang mendorong mereka menolaknya adalah karena kehati-hatian dan kekhawatiran mereka jika seorang mujtahid terjebak dalam penolakan terhadap nash dan lebih memilih hasil olahan logikanya sendiri. Dan kekhawatiran ini telah terjawab dengan penjelasan sebelumnya, yaitu bahwa istihsān sendiri mempunyai batasan yang harus diikuti. Dengan kata lain, para pendukung pendapat kedua ini sebenarnya hanya menolak istihsān yang hanya dilandasi oleh logika semata, tanpa dikuatkan oleh dalil yang lebih kuat.




BAB III
KESIMPULAN

Menurut Ulama Hanafiyah: “Beralih pandangan dari satu dalil qiyas kepada qiyas lain yang lebih kuat atau mengecualikan qiyas dengan argumentasi yang lebih kuat”. Menurut Ulama Malikiyah: “Mengutamakan meninggalkan pengertian suatu dalil dengan cara istisna’ (pengecualian) dan tarkhis (berdasarkan pada keringanan agama), karena adanya suatu hal yang bertentangan dengan sebagian pengertian.
Pembagian Istihsan menurut Ulama Hanafiyah terbagi menjadi tiga, antara lain:
1.       Istihsan sunnah,
2.       Istihsan ijma, dan
3.       Istihsan darurat.
Ulama Syafi’iyah memiliki pandangan yang berbeda mengenai istihsan. Menururt Imam Syafi’i dengan qaulnya yang mashur, bahwa” barang siapa yng berhujjah dengan istihsan maka ia telah membuat sendiri hukum syara”. Imam syafi’i berkeyakinan bahwa berhujah dengan istihsan, berarti telah menentukan syariat baru, sedangkan yang berhak membuat syariat itu hanyalah Allah SWT.dari sinilah terlihat bahwa Imam Syafi’i beserta pengikutnya cukup keras dalam menolak masalah istihsan ini.
Menurut Madzhab Maliki, istihsan adalah salah satu metode istinbat (menyimpulkan) hukum yang diakui diambil secara induktif (istiqro’i) dari sejumlah dalil secara keseluruhan (jumlah). Dengan demikian orang yang menggunakan istihsan tidak berarti semata-mata mengunakan perasaannya dan keinginannya yang subjektif, tetapi berdasarkan tujuan (maqosid) syara’.
Imam Hanafi tercatat paling banyak menggunakan istihsan dalam beberapa fatwanya. Ia berpendapat dalam posisi istihsan ini, melakukan istihsan lebih utama dari pada melakukan qiyas, pun pengambilan dalil yang lebih kuat diutamakan dari dalil yang lemah.


[1] http://blog.umy.ac.id/retnoeno/metode-ijtihad/al-istihsan
[2] Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, (Jakarta:Logos, 2001), hal. 312
[3] Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqih, (Jakarta: kencana, 2011), cet. Ke-1, hal. 82
[4] Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqih, (Jakarta: kencana, 2011), cet. Ke-1, hal. 86
[5] Iskandar Usman, Istishan dan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Pt Raja Grafindo, 1994), cet ke-1, hal.64)
[6] www.facebook.com/note.php?note_id=10150477985977162
[7] Amir Syarifuddin, Ushul fiqh, (Jakarta: Logos, 2001), hal. 313-314

Tidak ada komentar:

Posting Komentar