Sabtu, 21 April 2012

Gharib al-Qur'an


BAB I
PENDAHULUAN
Berbicara tentang Alqur’an memang bagai lautan yang tak bertepi, semakin jauh ia dikejar semakin luas pula jangkauannya. Dari aspek manapun Alqur’an dikaji dan diteliti, ia tidak pernah habis atau basi, bahkan semakin kaya dan selalu aktual.Mungkin itulah salah satu mukjizat yang terpancar dari kitabullah sebagai bukti kebenaran risalah Allah yang dititipkan pada Rasul-Nya, yaitu al-Islam.
Aspek bacaan al-Qur’an atau qiraah dalam pengertian yang luas, bukan hanya sekedar melafalkan huruf Arab dengan lancer, akan tetapi juga merupakan salah satu aspek kajian yang paling jarang diperbincangkan, baik oleh kalangan santri maupun kaum terpelajar umumnya, padahal membaca al-Qur’an tergolong ibadah mahdlah yang  paling utama. Hal ini barang kali bisa dimengerti, mengingat kurangnya buku rujukan yang mengupas tuntas ilmu qiraah dan minimnya guru al-Qur’an yang memiliki kemampuan memadai. Antusiasme para “santri” dalam mempelajari dan mencari dalil-dalil fiqh, baik dari al-Qur’an, hadis ataupun dari pendapat-pendapat ulama, ternyata tidak diikuti oleh semangat mentashihkan bacaan atau mencari jawaban tentang apa dan mengapa ada bacaan  saktah, madd, ghunnah yang sama-sama wajib (kifayah) dipelajari bagi kaum muslimin. Dari fenomena di atas perlu ditumbuhkan kembali semangat untuk mengkaji aspek   bacaan al-Qur’an yang masih “misteri” bagi kebanyakan orang sebagaimana semangatnya anak-anak kecil di tempat-tempat pendidikan al-Qur’an untuk bisa “membaca” dengan lancar.
Sebagai akibat dari kurangnya informasi yang memadai tentang bacaan al-Qur’an, bagi kebanyakan orang, ilmu qiraah (yang dipersempit dengan ilmu tajwid) dianggap hanya mempelajari makhraj dan sifat huruf, hukum nun atau mim mati dan tanwin, dan mad saja, lalu mereka membaca al-Qur’an apa adanya sebagaimana yang terdapat dalam tulisan mushaf atau rasm , padahal banyak kalimat yang cara bacanya tidak sama persis dengan tulisannya, seperti bacaan imalah, tash-hil, isymam dan lain sebagainya.


BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Gharib al-Qur’an
Lafal gharaib berasal dari bahasa Arab, yakni jamak dari gharibah yang berarti asing atau sulit pengertiannya. Apabila dihubungkan dengan Alqur’an maka yang dimaksudkan adalah ayat-ayat Alqur’an yang yang sukar pemahamannya sehingga hampir-hampir tidak dimengerti.[1]
Menurut Muchotob Hamzah Gharib al qur'an adalah Ilmu al Qur’an yang membahas mengenai arti kata dari kata-kata yang ganjil dalam al Qur’an yang tidak biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari.
Banyak lafal dalam ayat-ayat Alqur’an yang aneh bacaannya. Maksud aneh adalah ada beberapa bacaan tulisan Alqur’an yang tidak sesuai dengan kaidah aturan membaca yang umum atau yang biasa berlaku dalam kaidah bacaan bahasa arab. Hal ini menunjukkan adanya keistimewaan Alqur’an yang mengandung kemukjizatan yang sangat tinggi, disinilah letak kehebatannya sehingga kaum sastrawan tidak mampu menandinginya. Dari segi tulisan, mushaf yang kita terima ini tidak ada masalah karena telah dipersatukan tulisannya oleh khalifah Usman.[2]
B.       Macam-Macam Bacaan Gharib Dalam Alqur’an
1.    Saktah
Menutut Hafs , saktah yaitu, berhenti sebentar, tanpa bernafas dengan niat melanjutkan bacaan. Di dalam Al-Qur'an ada 4, yaitu: (1) Surah Kahfi: 1-2, (2) Surah Yasin: 52, (3) Surah Al-Qiyamah: 27, dan (4) Surah Al-Muthaffifin: 14. Berikut ini contoh-contoh saktah dalam sebuah ayat yang lengkap:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَل لَّهُ عِوَجَا {18/1} قَيِّمًا لِّيُنذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِن لَّدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا {18/2}
قَالُوا يَا وَيْلَنَا مَن بَعَثَنَا مِن مَّرْقَدِنَا هَذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُونَ {36/52}
وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ {75/27}
كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِم مَّا كَانُوا يَكْسِبُونَ {83/14}
2.    Imalah
Yaitu, bacaannya condong miring dari harakat fathah ke kasrah, dan dari huruf alif ke ya’ (Kecenderungan fathah kepada kasrah sehingga seolah-olah dibaca re). Imalah hanya terdapat 1 kata dalam Al-Qur'an, Surah Huud ayat 41, Juz 12.
وَقَالَ ارْكَبُواْ فِيهَا بِسْمِ اللّهِ مَجْرَاهَا وَمُرْسَاهَا إِنَّ رَبِّي لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ {11/41} 
           3.    Isymam
Yaitu, setelah mendengungkan (menggunahkan) nun kemudian bibirnya maju (monyong) dan ditahan satu harakat. Isymam di dalam Al-Qur'an hanya ada 1, yaitu di Surah Yusuf ayat 11, Juz 12.
 قَالُواْ يَا أَبَانَا مَا لَكَ لاَ تَأْمَنَّا عَلَى يُوسُفَ وَإِنَّا لَهُ لَنَاصِحُونَ {12/11}  
           4.    Shod dibaca Sin
Yaitu, huruf Shad dalam sebuah kata dibaca Sin biasa. Oleh karena itu sebagian Mushaf menulis sin kecil diatasnya, dibaca وَيَبْسُطُ dan  بَسْطَة
Bacaan ini di dalam Al-Qur'an terdapat di Surah Al-Baqarah ayat 245, Juz 2 dan di Surah Al-A’raf ayat 69 Juz 8
 مَّن ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللّهُ يَقْبِضُ وَيَبْصُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ {2/245}.
أَوَعَجِبْتُمْ أَن جَاءكُمْ ذِكْرٌ مِّن رَّبِّكُمْ عَلَى رَجُلٍ مِّنكُمْ لِيُنذِرَكُمْ وَاذكُرُواْ إِذْ جَعَلَكُمْ خُلَفَاء مِن بَعْدِ قَوْمِ نُوحٍ وَزَادَكُمْ فِي الْخَلْقِ بَصْطَةً فَاذْكُرُواْ آلاء اللّهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ {7/69}  
         5.    Ba’ diidham ke Mim
Yaitu, Huruf Ba’-Mati (disukun) ketika bertemu Mim diidghamkan ke huruf Mim tersebut. Di dalam Al-Qur'an hanya terdapat 1 kali, yaitu di Surah Huud ayat 42 Juz 12     
وَهِيَ تَجْرِي بِهِمْ فِي مَوْجٍ كَالْجِبَالِ وَنَادَى نُوحٌ ابْنَهُ وَكَانَ فِي مَعْزِلٍ يَا بُنَيَّ ارْكَب مَّعَنَا وَلاَ تَكُن مَّعَ الْكَافِرِينَ {11/42}
         6.    Sukun diganti Lam
Yaitu, lam alif (لا)  dibaca kasroh lam-nya , sedangkan kata ismun (اِسْمٌ) hamzah-nya tidak dibaca. Di dalam Al-Qur'an hanya terdapat di Surah Al-Hujuraat ayat 11 Juz 26.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِّن قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاء مِّن نِّسَاء عَسَى أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الاِسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ {49/11}
         7.    3 (tiga) model bacaan
Yaitu, 3 (tiga) macam bacaan yang terjadi karena washal dan waqaf. Ketiga hukum bacaan tersebut adalah :
a)    Bila washal, Ra’-nya dibaca pendek keduanya.
b)   Bila waqaf pada kalimat pertama, Ra’ dibaca panjang 1 alif / 2 harakat.
c)    Bila Waqaf pada kalimat kedua, Ra’ kalimat pertama dibaca qasr (pendek) dan Ra’ kalimat kedua dibaca sukun (mati).
3 (tiga) buah model bacaan asing ini hanya terdapat di Surah Al-Insaan ayat 15-16.
وَيُطَافُ عَلَيْهِم بِآنِيَةٍ مِّن فِضَّةٍ وَأَكْوَابٍ كَانَتْ قَوَارِيرَا {76/15} قَوَارِيرَ مِن فِضَّةٍ قَدَّرُوهَا تَقْدِيرًا {76/16}
8.    Tashiil
Yaitu, Hamzah pertama dibaca tahqiq (jelas) dan pendek, sedangkan hamzah kedua dibaca tashiil, yaitu meringankan bacaan antara Hamzah dan Alif. Di dalam Al-Qur'an hanya terdapat 1 kali, yaitu di Surah Fussilaat, ayat 44:
وَلَوْ جَعَلْنَاهُ قُرْآنًا أَعْجَمِيًّا لَّقَالُوا لَوْلَا فُصِّلَتْ آيَاتُهُ أَأَعْجَمِيٌّ وَعَرَبِيٌّ قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاء وَالَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِي آذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى أُوْلَئِكَ يُنَادَوْنَ مِن مَّكَانٍ بَعِيدٍ {41/44}[3]
C.      Cara Menafsirkan Ayat-Ayat yang Gharib
Permasalahan ini menjadi persoalan yang sangat rumit, khususnya setelah Nabi SAW. wafat, sebab saat beliau masih hidup semua permasalahan yang timbul langsung ditanyakan kepadanya. Tentu tidak semua persoalan sosial dan kemasyarakatan serta keagamaan muncul saat beliau masih hidup karena umur beliau relatif singkat, sementara pesoalan kemasyarakatan tersebut berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat itu sendiri.
Namun Rasulullah sebelum wafat telah meninggalkan dua pusaka yang sangat ampuh dan mujarab serta berharga, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul. Nabi menjamin barang siapa yang berpedoman kepada keduanya niscaya dia tidak akan sesat selama-lamanya.
تـَرَكـْتُ فِـيْكُـمْ شَـيْـئَـيْـنِ لَنْ تـَضِـلُّـوْا بـَعْـدَهُـمَا كِـتـَابَ اللهِ وَ سُـنَّـتِى (رواه الحكم)   
“Aku meninggalkan dua perkara pada diri kalian yang kalian tidak akan tersesat setelahnya yaitu Kitab Allah dan Sunnahku”.
Hadits ini dikuatkan oleh firman Allah yang tertera pada surat al Nisa’ ayat 59:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pemimpin) di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah persoalan tersebut kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Secara teoritis kembali kepada al qur’an dan hadits boleh dikatakan tidak ada masalah, tetapi problema muncul lagi dan terasa memberatkan pikiran ketika teori itu diterapkan untuk memecahkan berbagai kasus yang terjadi di masyarakat. Oleh karena hal itu cara yang digunakan oleh ulama’ dalam memahami gharib al qur’an, dan ini disebut juga “Ahsana al Thuruq” oleh  sebagai ulama - adalah sebagi berikut:
1.    Menafsirkan al qur’an dengan al qur’an
Contoh Surat al An’am ayat 82, kata ظلم dalam ayat tersebut jika diartikan secara tekstual maka terasa membawa pemahaman yang asing dan tidak cocok dengan kenyataan sebab hampir tidak ditemukan orang-orang yang beriman yang tidak pernah melakukan perbuatan dzalim sama sekali. Jika begitu maka tidak ada orang mukmin yang hidupnya tentram dan tidak akan mendapat petunjuk.
Oleh karena itu sahabat bertanya kepada Rasulullah, lalu Rasul menafsirkan kata dzulm dengan syirk berdasarkan pada surat Luqman ayat 13:
“Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Dari penjelasan Nabi diatas dapat diketahui bahwa kata dzulm dalam surat al An’am berarti syirk bukan ke-dzaliman biasa, dengan penjelasan itu selesailah persoalannya. Dan berdasarkan penjelasan Nabi itulah maka surat al An’am ayat 82 diterjemahkan sebagai berikut “orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kedzaliman (syirik) mereka itulah yang mendapatkan keamanan dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”.[4]
2.    Menafsirkan al qur’an dengan sunnah rasul.
As Sunnah adalah penjelas dari al qur’an, dimana al qur’an telah menjelaskan bahwa semua hukum (ketetapan) Rasulullah berasal dari Allah. Oleh karena itu Rasulullah bersabda:                   
        أَلاَ إنِّي أُوْتِيْتُ القُرآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ يَعْنِي السُنَّةَ
“Ketahuilah bahwa telah diberikan kepadaku Qur’an dan bersamanya pula sesuatu yang serupa dengannya” yaitu sunnah.
3.    Jika tidak ditemukan di dalam hadits maka dicari dalam atsar (pendapat) sahabat.
Pendapat para sahabat lebih akurat dari pada lainnya dikarenakan mereka telah berkumpul dengan Rasulullah dan mereka telah meminum air pertolongan beliau yang bersih. Mereka menyaksikan wahyu dan turunnya, mereka tahu asbabun nuzul dari sebuah ayat maupun surat dari al qur’an, mereka mempunyai kesucian jiwa, keselamatan fitrah dan keunggulan dalam hal memahami secara benar dan selamat terhadap kalam Allah SWT. Bahkan menjadikan mereka mampu menemukan rahasia-rahasia alqur’an lebih banyak dibanding siapapun orangnya.
4.    Jika masih belum didapati pemecahannya maka  sebagian ulama memeriksa pendapat tabi’in.
Diantara tabi’in ada yang menerima seluruh penafsiran dari sahabat, namun tidak jarang mereka juga berbicara tentang tafsir ini dengan istinbat (penyimpulan) dan Istidlal (penalaran dalil) sendiri. Tetapi yang harus menjadi pegangan dalam hal ini adalah penukilan yang shohih.
5.    Melalui sya’ir
Walaupun sebagian besar ulama nahwu mengingkari cara yang kelima ini dalam menafsirkan ayat yang gharib namun cobalah kita melepaskan diri dari perbedaan itu dan melihat penjelasan dari Abu Bakar Ibnu Anbari yang berkata “telah banyak riwayat yang menyebutkan bahwa sahabat dan tabi’in berhujjah dengan sya’ir-syair dengan kata-kata yang asing bagi al qur’an dan yang musykil (yang sulit)”.
Syai-syair itu bukanlah dijadikan sebagi dasar al qur’an untuk berhujjah melainkan dijadikan sebagai penjelas dari huruf-huruf asing yang ada di al qur’an, karena Allah berfirman dalam surat az Zukhruf ayat 3 “Sesungguhnya Kami menjadikan al qur’an dalam bahasa arab”.
Ibnu Abbas berkata “jika kalian bertanya kepadaku tentang sebuah kata asing di dalam alqur’an maka carilah maknanya pada syair-syair. Sesungguhnya syair-syair itu adalah perbendaharaan bangsa Arab”.
Contoh ketika Ibnu Abbas sedang duduk-duduk di halaman ka’bah, dia dikelilingi oleh sekelompok kaum  dan bertanya kepadanya tentang penafsiran beberapa ayat, diantaranya mereka bertanya tentang tafsir ayat وابتغو اليه الوسيلة yang ada pada surat al Maidah ayat 35. Kata الوسيلة diartikan oleh Ibnu Abbas dengan “kebutuhan”, kemudian dia mengambil dasar dari syair yang dikatakan oleh Antarah yang berbunyi
ان الرجال لهم اليك وسيلة        ان يأخذوك تكحاي و تخضبي
Sesungguhnya para laki-laki itu membutuhkanmu
Jika mereka hendak mengambilmu Maka pakailah celak dan semir.[5]
D.      Faedah Mengetahui Gharib Alqur’an
Banyak faedah yang dapat dipetik dengan mengetahui dan mempelajari ayat-ayat yang gharibat antara lain sebagai berikut:
1.    Mengundang tumbuhnya penalaran ilmiah. Artinya, mempelajari ayat-ayat yang sulit dalam pemahamannya itu akan melahirkan berbagai upaya guna memahaminya.
2.    Mengambil perhatian umat. Dengan diketahuinya ke-gharib-an ayat-ayat Alqur’an, maka terasa mendalam ketinggian bahasa yang dibawa oleh Alqur’an.
3.    Memperoleh keyakinan eksistensi Alqur’an sebagai kalam ilahi. Dengan diketahui maksud yang terkandung dalam ayat-ayat gharibat, maka akan diperoleh suatu pemahaman yang mendalam dari ayat tersebut.[6]

BAB III
KESIMPULAN
Gharib al-Qur’an adalah ayat-ayat Alqur’an yang yang sukar pemahamannya sehingga hampir-hampir tidak dimengerti. Banyak lafal dalam ayat-ayat Alqur’an yang aneh bacaannya. Maksud aneh adalah ada beberapa bacaan tulisan Alqur’an yang tidak sesuai dengan kaidah aturan membaca yang umum atau yang biasa berlaku dalam kaidah bacaan bahasa arab.
Macam-macam bacaan gharib alquran ada 8 macam, yaitu:
1.        Saktah
2.        Imalah
3.        Isymam
4.        Shod dibaca sin
5.        Ba’ diidham ke Mim
6.        Sukun diganti lam
7.        3 (tiga) model bacaan
8.        Tashiil
Cara menafsirkan ayat-ayat yang gharib antara lain:
1.        Menafsirkan al qur’an dengan al qur’an.
2.        Menafsirkan al qur’an dengan sunnah rasul.
3.        Jika tidak ditemukan di dalam hadits maka dicari dalam atsar (pendapat) sahabat.
4.        Jika masih belum didapati pemecahannya maka  sebagian ulama memeriksa pendapat tabi’in.
5.        Melalui sya’ir.
Salah satu faedah yang dapat dipetik dengan mengetahui dan mempelajari ayat-ayat yang gharibat yaitu Memperoleh keyakinan eksistensi Alqur’an sebagai kalam ilahi. Dengan diketahui maksud yang terkandung dalam ayat-ayat gharibat, maka akan diperoleh suatu pemahaman yang mendalam dari ayat tersebut.


[1] Nasruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), cet. 1, hal. 267
[2] Abdul Majid Khan, Praktikum Qira’at, (Jakarta: Amzah, 2008), cet. 1, hal. 100
[4] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), Cet. 1, h. 270
[5] hijausegarsaja.blogspot.com/2011/01/ghoribul-quran.html
[6] Nasruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), cet. 1, hal. 270-271

3 komentar: