BAB I
PENDAHULUAN
John Locke merupakan salah satu dari begitu banyak tokoh
yang sudah memberikan pemikirannya tentang perkembangan pendidikan di dunia, ia
memiliki latar belakang yang berbeda dalam pendidikan dan perkembangan
individunya.
Pandangan pendidikan John Locke yang terkenal adalah konsep
TABULA RASA atau lembaran kosong, yaitu dimana dianggap bahwa otak adalah
sebuah penerima pasif yang memperoleh pengetahuan dari pengalaman dan
menyerapnya melalui panca indera berbagai gagasan sederhana dan kemudian
digabungkan atau dihubungkan untuk membentuk suatu pemikiran yang berkaitan.
Penerapan tabula rasa oleh John Locke ditunjukkan dalam
pandangannya mengenai pembedaan yang jelas antara pendidikan dan perolehan
(melalui penggabungan) informasi verbal yang semata-mata hanya untuk diingat
dan diulangi. Ia menekankan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mengembangkan
kekuatan badan dan pikiran individu agar ia sukses dalam hidupnya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup
Sarjana
Inggris ini dilahirkan pada tahun 1632, dibesarkan oleh ayah yang seorang
pengacara yang bekerja sebagai juru tulis hakim di Somersetshire dan menjadi
kapten angkatan bersenjata di Long Parliament selama pemerintahan Raja Charles
I. Pada Tahun 1646, John Locke berusia 14 tahun dia diterima di
Westminster School, dimana selama 6 tahun ia mencurahkan perhatiannnya pada
pelajaran bahasa latin dan Yunani, disamping pelajaran-pelajaran lainnya yang
diberikan disekolah-sekolah menengah. Kemudian pada tahun 1952 Ia belajar kedokteran
di Universitas Oxford, disamping itu ia mempelajari ilmu alam dan filsafat. Ia
mendapatkan gelar sarjana mudanya pada tahun 1656 dan sarjana penuh pada tahun
1658. Sebagai dokter ia menjadi dokter pribadi Lord Shaftesbury dan menjadi
pengasuh anaknya yang sakit-sakitan. Bersama dengan Shaftesbury ia mengadakan
beberapa kali perjalanan ke luar Inggris. Karena persengketan politik ia
mengikuti Shaftesbury mengungsi ke Negeri Belanda. Akhirnya dalam situasi
kemenangan politik ia kembali ke Inggris bersama dengan Raja Willem III.
Padanya diserahi jabatan tinggi, tetapi karena buruknya kesehatannya ia
akhirnya mengundurkan diri dan meninggalkan London. Ia hidup dalam suatu
pesanggrahan, yang dipinjamkan dari seorang teman. Ia berdiam disitu sampai
meninggal pada tahun 1704.[1]
B.
Dalam
Bidang Pendidikan
Pandangannya
tentang pendidikan ia letakkan dalam bukunya pada tahun 1693 yang berjudul “Some thoughts concerning education of
children” (beberapa pemikiran tentang pendidikan kanak-kanak). Pangkal
pemikirannya adalah penerapan falsafahnya terhadap anak. Pada waktu lahir anak
manusia adalah kosong seperti kertas putih yang belum tertulisi, pengisiannya
bergantung pada pengalamannya. Ini adalah aliran empirisme dalam pendidikan, disebut pula aliran tabula rasa.
Jenis
pendidikannya: pendidikan harmonis antara jasmani dan rohani. Ini ternyata dari
kalimat permulaan dalam bukunya berupa ucapan men sana in corpora sano (pada akal yang sehat terdapat jiwa yang
kuat).
Pendidikan
jasmani. Ia mementingkan kesehatan jasmani karena telah merasakan akibat yang
tidak baik berhubung dengan kesehatan badan pribadinya yang buruk, itu karena
jabatannya sebagai dokter. Untuk penjagaan kesehatan wajib ada pendidikan
jasmani teratur dan keras, ada cara hidup baik untuk menguatkan badan dengan
berbagai pantangan.
Pendidikan
rohani. Dalam pendidikan rohani ia mengutamakan manusia berkepribadian,
berwatak berdasarkan pikirnya. Ini sesuai dengan anggapannya, bahwa pikir berada
di atas segalanya dan merupakan hakim tertinggi baginya (rasionalisme). Pendirian
ini menentang pendidikan pada zaman itu, pada waktu itu pendidikan mengutamakan
manusia yang pandai mengabdi dengan perbuatan semu untuk menyenangkan atasan
dan orang lain.
Motif
perbuatan manusia berwatak adalah harga diri, dengan nama baiknya. Norma
kesusilaan tidak boleh ditanamkan berdasarkan agama, melainkan berdasarkan
pemikiran (rasio). Berpegangan pada pemikiran sehat orang memperoleh watak dan
keberanian yang baik, watak dihargai lebih tinggi dari pada pengetahuan. Pendidikan
formil lebih diutamakan daripada pendidikan materiil, karena pendidikan dalam
keluarga oleh orang tua dan pengasuh dirumah lebih diutamakan daripada
pendidikan di sekolah. Begitulah ciri pendidikan menurut John Locke adalah
serba individual.
Ketertiban di
sekolah. Ia tidak menyetujui ketertiban keras berdasarkan paksaan, yang
menimbulkan perbuatan semu, melainkan ketertiban yang lebih lunak, yaitu
ketertiban batin berdasarkan daya tangkap anak akan kegunaannya. Hukuman badan
dan hadiah tidak disetujuinya.[2]
1. Tujuan
Pendidikan
Dalam pandangannya tentang filsafat ilmu pengetahuan, Locke mengemukakan
tentang beberapa tujuan dari pendidikan, yakni pertama, pendidikan
bertujuan untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran setiap manusia (bangsa). Oleh
sebab itu, sebagai bagian akhir dari pendidikan, pengetahuan hendaknya membantu
menusia untuk memperoleh kebenaran, keutamaan dan kebijaksanaan hidup. Kedua,
pendidikan juga bertujuan untuk mencapai kecerdasan setiap individu dalam
menguasai ilmu pengetahuan sesuai dengan tingkatannya. Dalam konteks itu, Locke
melihat pengetahuan sebagai usaha untuk memberantas kebodohan dalam hidup
masyarakat. Setiap manusia diarahkan pada usaha untuk mengembangkan
potensi-potensi yang ada dalam dirinya. Ketiga, pendidikan juga
menyediakan karakter dasar dari kebutuhan manusia untuk menjadi pribadi yang
dewasa dan bertanggung jawab. Dalam arti ini, pengetahuan dilihat oleh John
Locke sebagai sarana untuk membentuk manusia menjadi pribadi yang bermoral.
Seluruh tingkah laku diarahkan pada usaha untuk membentuk pribadi manusia yang
baik, sesuai dengan karakter dasar sendiri sejak diciptakan. Keempat,
pendidikan menjadi sarana dan usaha untuk memelihara dan membaharui sistem
pemerintahan yang ada.
2. Kompetensi
Guru
Menurut Locke, yang penting bagi
seorang guru adalah melatih pikiran siswa untuk memecahkan masalah yang
dihadapi. Guru tidak boleh membuat penyiksaan fisik yang sewenang-wenang
terhadap siswa, sebab dengan demikian hanya akan menghilangkan kebebasan dalam
pelaksanaan pendidikan.
Dengan demikian seorang guru harus
berperan sebagai mediator atau fasilitator yang membantu proses belajar seorang
siswa. Oleh kerena itu, seorang guru memiliki tiga tugas utama, yaitu:
a)
Guru menyediakan pengalaman belajar yang
memungkinkan siswa menyusun rancangan belajar. Seorang guru memungkinkan
siswanya untuk menjalankan proses belajar atau membentuk pengertiannya sendiri.
Yang perlu diperhatikan di sini adalah guru menyediakan pengalaman belajar bagi
siswa itu sendiri. Mengajar dalam bentuk ceramah bukanlah menjadi tugas utama
seorang guru.
b)
Guru memberikan kegiatan-kegiatan yang
membangkitkan rasa ingin tahu siswa dan membantu siswa untuk mengekspresikan
gagasan-gagasannya atau mengkomunikasikan ide ilmiah mereka. Dengan kata lain,
guru memberi semangat kepada siswa untuk berpikir, mencari pengalaman baru.
Bahkan guru perlu memberikan pengalaman konflik. Pengalaman konflik yang
dimaksudkan yakni pemaparan mengenai sebuah kasus atau persoalan yang perlu
dipecahkan sendiri oleh siswa tersebut.
c)
Guru memonitor atau mengevaluasi apakah
proses berpikir siswa dan cara mengekspresikan pikiran berhasil atau tidak.
Guru mempertanyakan apakah pengetahuan siswa cukup untuk memecahkan
persoalan-persoalan yang akan dihadapi.
3. Metode
Pembelajaran
Pada dasarnya Locke menolak metode pengajaran yang biasa disertai dengan
hukuman. Baginya, tata krama dipelajari melalui teladan dan bahasa dipelajari
melalui kecakapan. Dengan demikian metode yang ditawarkan Locke adalah
pelajaran melalui praktek. Metode harus membawa para murid kepada praktek
aktivitas-aktivitas kesopanan yang ideal sampai mereka menjadi terbiasa.
Anak-anak pertama-tama belajar melalui aktivitas-aktivitas yang dilakukan, baru
kemudian tiba pada pengertian atau pengetahuan atas apa yang ia lakukan.
Menurutnya pengajaran di sekolah wajib berdasarkan pengalaman dengan cara
induktif melalui indera, sambil bermain-main. Dengan permainan anak tetap
memiliki sifat gembiranya dan juga anak memperoleh berbagai pengalaman.
Perlu diketahui bahwa John Locke menginginkan agar
mata pengajaran diajarkan berturutan, tidak bersamaan. Misalnya: membaca dulu
hingga bisa, kemudian menulis dulu sampai bisa, lalu hitung dan seterusnya.
4. Kurikulum
John Locke menegaskan
kurikulum harus diarahkan demi kecerdasan individual, kemampuan dan
keistimewaan anak-anak dalam menguasai pengetahuan dan bukan pada pengetahuan
yang biasa diajarkan dengan hukuman yang sewenang-wenang. Kurikulum bagi
siswa hendaknya difokuskan pada ibadah yang teratur demi memperbaiki kehidupan
religius dan moral, pada kerajinan tangan dan pada pendidikan kesenian, dengan
suatu maksud bahwa para murid harus belajar membaca, menulis dan mengerjakan
ilmu pasti.[3]
5 5. Evaluasi Proses Belajar
Dalam
mengevaluasi cara belajar siswa, seorang guru tidak dapat mengevalusi apa yang
sedang dibuat siswa atau apa yang mereka katakan. Yang harus dibuat guru adalah
menunjukkan kepada siswa apa yang mereka pikirkan itu tidak cocok atau tidak
sesuai untuk persoalan yang dihadapi. Guru tidak menekankan kebenaran tetapi
kebehasilan suatu usaha. Tidak ada gunanya mengatakan siswa itu salah karena
hanya merendahkan motivasi belajar.
Kepada
siswa diberikan suatu persoalan yang belum pernah ditemui sebelumnya, amati
bagaimana mereka menyelesaikan persoalan itu. Pendekatan siswa terhadap
persoalan itu lebih penting dari pada jawaban akhir yang diberikannya. Dengan
mengamati cara konseptual yang dipakai siswa, guru dapat menangkap bagaimana
jalannya konsep mereka.
BAB III
KESIMPULAN
John
Locke lahir pada tahun 1632 di Wrington Inggris, dibesarkan oleh ayah yang
seorang pengacara yang bekerja sebagai juru tulis hakim di Somersetshire dan
menjadi kapten angkatan angkatan bersenjata di Long Parliament selama
pemerintahan Raja Charles I.
Pandangannya
tentang pendidikan ia letakkan dalam bukunya pada tahun 1693 yang berjudul
“Some thoughts concerning education of children” (beberapa pemikiran tentang
pendidikan kanak-kanak). Pangkal pemikirannya adalah penerapan falsafahnya
terhadap anak. Pada waktu lahir anak manusia adalah kosong seperti kertas putih
yang belum tertulisi, pengisiannya bergantung pada pengalamannya. Ini adalah
aliran empirisme dalam pendidikan,
disebut pula aliran tabula rasa.
Jenis
pendidikannya: pendidikan harmonis antara jasmani dan rohani. Ini ternyata dari
kalimat permulaan dalam bukunya berupa ucapan men sana in corpora sano (pada akal yang sehat terdapat jiwa yang
kuat).
DAFTAR PUSTAKA
Ag.Soejono, Aliran Baru dalam Pendidikan, (Bandung: C.V.ILMU, 1978)
Leonardo, “Filsafat Pendidikan
Menurut John Locke dan John Dewey”, dari www.wordpress.com, 5 Mei 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar