BAB I
PENDAHULUAN
Pengertian filsafat hingga saat ini
masih dipandang diberbagai sudut pandang yang berbeda dan kadang-kadang
diterapkan secara tidak tepat terutama dikalangan awam. Sebagian pihak ada yang
memandangnya sebagai suatu ilmu atau wacana luar biasa yang sangat tinggi
kedudukannya, jauh lebih tinggi dibandingkan maksud yang sebenarnya.
Berdasarkan pandangan tersebut, filsafat menjadi sebuah wacana atau ilmu
pengetahuan yang hanya mungkin dilakukan dan dipahami oleh orang-orang yang
memiliki keunggulan intelektual serta kebiaksanaan yang sangat tinggi. Jadi,
pemahaman ini, orang biasa belum tentu dapat berfilsafat.
Penjelasan filsafat dan pemikiran
filsafat Pra-Sokrates serta filsafat sokrates sudah dibahas pada pertemuan
sebelumnya. Selanjutnya pada makalah ini akan menjelaskan tentang pemikiran
filsafat Plato dan sedikit akan disinggung tentang sejarah Plato. Pemikirannya
seperti tentang dunia pengalaman yang bersifat tidak
tetap, bermacam-macam dan berubah-ubah, dan dunia ide yang bersifat tetap hanya
satu macam dan tidak berubah. Untuk lebih jelasnya, silahkan pembaca baca yang
ada pada makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMIKIRAN FILSAFAT PLATO
A.
Sejarah
Plato
Plato dilahirkan di Athena pada tahun
427 SM, dan meninggal disana pada tahun 347 SM dalam usia 80 tahun. Ia berasal
dari keluarga aristokrasi yang turun temurun memegang peranan penting dalam
politik Athena. Ia pun bercita-cita sejak mudanya untuk menjadi orang Negara,
tetapi perkembangan politik di masanya tidak memberi kesempatan padanya untuk
mengikuti jalan hidup yang diingininya itu.
Namanya bermula ialah Aristokles,
kemudian gurunya bermain senam menggantinya dengan nama Plato. Ia memperoleh
nama baru itu terhubung dengan bahunya yang lebar, sepadan dengan badannya yang tinggi dan
tegap. Raut mukanya, potongan tubuhnya serta parasnya yang elok bersesuaian
benar dengan ciptaan klasik tentang manusia yang cantik. Dalam tubuh yang besar
dan sehat itu bersarang pula pikiran yang dalam dan menembus. Pandangan matanya
menunjukkan seolah-olah ia mau mengisi dunia yang lahir ini dengan
cita-citanya.
Pelajaran yang diperolehnya dimasa
kecil, selain dari pelajaran umum, ialah menggambar dan melukis, disambung
dengan belajar musik dan puisi. Sebelum dewasa ia sudah pandai membuat karangan
yang bersajak.
Sebagaimana biasanya dengan anak orang
baik-baik di masa itu Plato mendapat didikan dari guru-guru filosofi. Pelajaran
filosofi mula-mula diperolehnya dari Kratylos. Kratylos dahulunya murid
Herakleitos yang mengajarkan “semuanya berlalu” seperti air. Rupanya ajaran
semacam itu tidak hinggap didalam kalbu anak aristokrat yang terpengaruh oleh
tradisi keluarganya.[1]
Sejak berusia 20 tahun Plato mengikuti
pelajaran Sokrates, pelajaran itulah yang memberi kepuasaan baginya. Plato adalah
pengikut Sokrates yang taat diantara para pengikutnya yang mempunyai pengaruh
besar. Selain itu Plato dikenal sebagai ahli pikir juga dikenal sebagai
sastrawan yang terkenal. Tulisannya sangat banyak sehingga keterangan tentang
dirinya dapat diperoleh secara cukup.[2]
Dalam segala karangannya yang selalu
berbentuk dialog, Sokrates didudukannya sebagai pujangga yang menuntun. Dengan
begitu ajaran Plato tergambar ke luar melalui mulut Sokrates. Juga setelah
pandangan filosofinya sudah jauh menyimpang dan sudah lebih lanjut dari
pendapat gurunya, ia terus berbuat begitu. Sokrates digambarkannya sebagai juru
bahasa isi hati rakyat di Athena yang tertindas karena kekuasaan yang saling
berganti.
Plato mempunyai kedudukan yang istimewa
sebagai seorang filosof. Ia pandai menyatukan puisi dan ilmu, seni dan
filosofi. Pandangan yang dalam dan abstrak sekalipun dapat dilukiskannya dengan
gaya bahasa yang indah. Tidak ada seorang filosof sebelumnya dapat
menandinginya dalam hal ini, juga sesudahnya tak ada.
Tak lama setelah Sokrates meninggal,
Plato pergi dari Athena. Itulah permulaan ia mengembara 12 tahun lamanya, dari
tahun 399-387 SM. Mula-mula ia pergi ke Megara, tempat Euklides mengajarkan
filosofnya. Beberapa lama disana ada cerita yang mengatakan, bahwa ia disitu
mengarang beberapa dialog yang mengenai berbagai macam pengertian dalam masalah
hidup berdasarkan ajaran Sokrates. Dari Megara ia pergi ke Kyrena, dimana ia
memperdalam pengetahuannya tentang matematika pada seorang guru yang bernama
Theodoros. Disana Plato juga mengajarkan filosofi dan mengarang buku-buku.[3]
Kemudian pada usia 40 tahun ia
mengunjungi Italia dan Sicilia untuk belajar ajaran Pythagoras. Kemudian
sekembalinya ia mendirikan sekolah, sekolah tersebut dinamakan Akademis, karena
berdekatan dengan kuil Akademos seorang pahlawan Athena. Ia memimpin sekolah
tersebut selama 40 tahun. Ia juga memberikan pengajaran secara baik dalam
bidang ilmu pengetahuan dan filsafat, terutama bagi orang-orang yang akan
menjadi politik.
Sebagai titik tolak pemikiran
filsafatnya, ia mencoba menyelesaikan permasalahan lama: mana yang benar yang
berubah-ubah (Heracleitos) atau yang tetap (Parmenides). Mana yang benar antara
pengetahuan yang lewat indera dengan pengetahuan yang lewat akal. Pengetahuan
yang diperoleh dari indera disebutnya pengetahuan indera atau pengetahuan
pengalaman. Sedangkan pengetahuan yang diperoleh lewat akal disebut pengetahuan
akal. Pengetahuan indera atau pengetahuan pengalaman bersifat tidak tetap atau
berubah-ubah, sedang pengetahuan akal bersifat tetap atau tidak berubah-ubah.
Sebagai contoh, terdapat banyak segi tiga yang bentuknya berlainan menurut
pengetahuan indera atau pengetahuan pengalaman, tetapi dalam idea atau pikiran
bentuk segitiga tersebut hanya satu dan tetap, dan ini menurut pengetahuan
akal.[4]
B. Dunia Ide dan Dunia Pengalaman
Sebagai penyelesaian persoalan yang
dihadapi Plato tersebut diatas, ia menerangkan bahwa manusia itu sesungguhnya
berada dalam dua dunia, yaitu:
1.
Dunia pengalaman
2.
Dunia ide.
Dunia
pengalaman bersifat tidak tetap, bermacam-macam dan berubah-ubah, sedangkan
dunia ide bersifat tetap hanya satu macam dan tidak berubah. Dunia pengalaman
merupakan bayang-bayang dari dunia ide, sedangkan dunia ide merupakan dunia
yang sesungguhnya, yaitu dunia realitas. Dengan demikian dunia yang sesungguhnya
atau dunia realitas itu adalah dunia ide.
Jadi Plato dengan ajarannya tentang ide
berhasil menjembatani pertentangan pendapat antara Herakleitos dan Parmenides.
Plato mengemukakan bahwa ajaran dan pemikiran Herakleitos itu benar tetapi hanya berlaku pada dunia
pengalaman. Sebaliknya, pendapat Parmenides juga benar tetapi hanya berlaku
pada dunia ide yang hanya dapat dipikirkan oleh akal.
Dibandingkan dengan gurunya Sokrates,
Plato telah maju selangkah dalam pemikirannya. Sokrates baru sampai pada pemikiran
tentang sesuatu yang umum dan merupakan hakikat suatu realitas, tetapi Plato
telah mengembangkannya dengan pemikiran bahwa hakikat suatu realitas itu bukan
“yang umum”, tetapi yang mempunyai kenyataan yang terpisah dari sesuatu yang
berada secara konkret yaitu ide. Dunia ide inilah yang hanya dapat dipikirkan
dan diketahui oleh akal.
Pemikirannya tentang Tuhan, Plato
mengemukakan bahwa terdapat beberapa masalah bagi manusia yang tidak pantas
apabila tidak mengetahuinya, yaitu:
a.
Manusia itu mempunyai Tuhan sebagai
penciptanya.
b. Tuhan itu mengetahui segala sesuatu yang
diperbuat oleh manusia.
c.
Tuhan hanya dapat diketahui dengan cara
negatif, tidak ada ayat, tidak ada anak dan lain-lain.
d. Tuhanlah yang menjadikan alam ini dari
yang tidak mempunyai peraturan menjadi mempunyai peraturan.
Sebagai puncak pemikiran filsafat Plato
adalah pemikirannya tentang Negara, yang tertera dalam Polites dan Nomoi.
Pemikirannya tentang Negara ini sebagai upaya Plato untuk memperbaiki keadaan
Negara yang dirasakan buruk.
Konsepnya tentang Negara di dalamnya
terkait etika dan teorinya tentang Negara. Konsepnya tentang etika sama seperti
Socrates, yaitu bahwa tujuan hidup manusia adalah hidup yang baik (eudaimonia
atau well-being). Akan tetapi untuk hidup yang baik tidak mungkin dilakukan
tanpa di dalam polis (Negara). Sehingga untuk hidup yang baik, dituntut adanya
Negara yang baik. Dan sebaliknya polis (Negara) yang jelek atau buruk tidak
mungkin menjadikan para warganya hidup dengan baik.
Menurut Plato, di dalam Negara yang ideal
terdapat tiga golongan, yaitu :
a.
Golongan yang tertinggi, terdiri dari
orang-orang yang memerintah (para penjaga, para filsuf).
Mereka
terpilih dari yang paling cakap dan terbaik dari kelas penjaga, setelah
menempuh pendidikan dan latihan special untuk itu. Tugas mereka adalah membuat
undang-undang dan mengawasi pelaksanaannya. Mereka memangku jabatan yang
tertinggi. Selain dari itu mereka mempergunakan aktu yang terluang untuk
memperdalam filosofi dan ilmu pengetahuan tentang idea kebaikan, menjadi puncak
dalam ajaran Plato.Mereka harus menyempurnakan budi yang tepat bagi golongan
mereka: budi kebijaksanaan.
b.
Golongan pembantu, terdiri dari para
prajurit atau pembantu dalam urusan Negara. Tugasnya menjamin supaya
undang-undang dipatuhi rakyat. Dasar kerjanya semata-mata mengabdi kepada
Negara. Oleh karena itu mereka tidak boleh mempunyai kepentingan diri sendiri.
Mereka tidak boleh mempunyai harta perseorangan atau keluarga. Mereka tinggal
bersama di asrama, hidup dalam sistim komunisme yang seluas-luasnya, meliputi
perempuan dan anak-anak. “Milik” bersama atas perempuan tidak berarti baha
mereka dapat memuaskan hawa nafsu sesuka-sukanya. Hidup mereka didasarkan atas
perbaikan jenis manusia dan hubungan mereka dengan perempuan diatur oleh Negara
dengan pengawasan yang rapi.
c.
Golongan rakyat biasa, terdiri dari
petani, pedagang, tukang, yang bertugas untuk memikul ekonomi Negara (polis).[5]
Mereka
itu merupakan dasar ekonomi bagi masyarakat. Karena mereka menghasilkan, mereka
tidak boleh serta dalam pemerintahan. Sebagai golongan yang berusaha mereka
boleh mempunyaihak milik dan harta, boleh berumah tangga sendiri. Mereka hidup
dalam keluarga masing-masing. Sekalipun mereka bebas berusaha, budi mereka
harus terasuh, yaitu budi pandai menguasai
diri.
Tugas negarawan adalah mencipta
keselarasan antara semua keahlian dalam Negara (polis), sehingga meujudkan
keseluruhan yang harmonis. Bentuk pemerintahan harus disesuaikan dengan keadaan
yang nyata.
Apabila suatu Negara telah mempunyai
Undang Undang Dasar, bentuk pemerintahan yang palaing tepat adalah monarki.
Bentuk pemerintahan aristokrasi dianggap kurang tepat, dan pemerintahan yang
paling buruk adalah demokrasi. Sedangkan apabila suatu Negara belum mempunyai
Undang Undang Dasar maka bentuk pemerintahan yang paling tepat adalah
demokrasi, dan yang paling buruk adalah monarki.
BAB
III
KESIMPULAN
Jadi
dari pembahasan tentang pemikiran Plato pada halaman sebelumnya, ia menerangkan
bahwa manusia itu sesungguhnya berada dalam dua dunia, yaitu dunia pengalaman
dan dunia ide. Dunia pengalaman bersifat tidak tetap, bermacam-macam dan
berubah-ubah, sedangkan dunia ide bersifat tetap hanya satu macam dan tidak
berubah. Dunia pengalaman merupakan bayang-bayang dari dunia ide, sedangkan
dunia ide merupakan dunia yang sesungguhnya, yaitu dunia realitas. Dengan
demikian dunia yang sesungguhnya atau dunia realitas itu adalah dunia ide.
Dia
juga berhasil menjembatani pertentangan pendapat antara Herakleitos dan
Parmenides. Plato mengemukakan bahwa ajaran dan pemikiran Herakleitos itu benar tetapi hanya berlaku pada dunia
pengalaman. Sebaliknya, pendapat Parmenides juga benar tetapi hanya berlaku
pada dunia ide yang hanya dapat dipikirkan oleh akal. Plato juga mengemukakan
bahwa terdapat beberapa masalah bagi manusia yang tidak pantas apabila tidak
mengetahuinya, yaitu:
- Manusia itu mempunyai Tuhan sebagai penciptanya.
- Tuhan itu mengetahui segala sesuatu yang diperbuat oleh manusia.
- Tuhan hanya dapat diketahui dengan cara negatif, tidak ada ayat, tidak ada anak dan lain-lain.
- Tuhanlah yang menjadikan alam ini dari yang tidak mempunyai peraturan menjadi mempunyai peraturan.
Dan
juga pemikiran filsafat Plato adalah pemikirannya tentang Negara, yang tertera
dalam Polites dan Nomoi, yang berpendapat bahwa di dalam Negara yang ideal terdapat
tiga golongan, yaitu :
1. Golongan
yang tertinggi
2. Golongan
pembantu, dan
ΓΌ 3. Golongan
rakyat biasa
[1]
Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani,
(Jakarta:UI Press & Tintamas, 1986), cet.3, hlm.87
[2]
Asmoro Achmadi, Filsafat Umum,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), cet. 2, hlm. 48
[3]
Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani,
(Jakarta:UI Press & Tintamas, 1986), cet.3, hlm.88-89
[4]
Asmoro Achmadi, Filsafat Umum,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), cet. 2, hlm. 48-49
[5]
Brouwer, Sejarah Filsafat Modern dan
Sezamannya, (Bandung: Alumni, 1986), hlm.35
Tidak ada komentar:
Posting Komentar