BAB I
PENDAHULUAN
Dalam
setiap studi tentang ilmu kependidikan, persoalan yang berkenaan dengan guru
dan jabatan guru senantiasa disinggung, bahkan menjadi salah satu pokok bahasan
yang mendapat tempat tersendiri di tengah-tengah ilmu kependidikan yang begitu
luas dan kompleks. Dewasa ini perhatian itu bertambah besar sehubungan dengan
kemajuan pendidikan dan kebutuhan guru yang semakin meningkat, baik dalam mutu
maupun jumlahnya. Secara gamblang dapat kita lihat, bahwa program pendidikan
guru mendapat prioritas pertama dalam program pembangunan pendidikan di negara
kita.
Sejalan
dengan hakikat dan makna yang terkandung dalam makalah ini, masalah pokok yang
akan disoroti adalah kompetensi-kompetensi dan kode etik profesi keguruan
apakah yang seharusnya dimiliki oleh guru dan apa implikasinya terhadap program
pendidikan guru.
BAB II
KOMPETENSI DAN KODE ETIK PROFESI
KEGURUAN
A.
Kompetensi
Profesi Keguruan
Kompetensi diartikan sebagai
pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah
menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku
kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya. Sejalan dengan itu,
Finch & Crunkilton (1979:222) mengartikan kompetensi sebagai penguasaan
terhadap suatu tugas, keterampilan, sikap dan apresiasi yang diperlukan untuk
menunjang keberhasilan.
Berikut ini beberapa aspek atau ranah
yang terkandung dalam konsep kompetensi, antara lain:
1. Pengetahuan
(knowledge),
2. Pemahaman
(understanding),
3. Kemampuan
(skill),
4. Nilai
(value),
5. Sikap
(attitude),
6. Minat
(interest).[1]
Kompetensi
guru merupakan salah satu dari kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap guru
dalam jenjang pendidikan apapun. Kompetensi-kompetensi lainnya adalah
kompetensi kepribadian dan kompetensi kemasyarakatan. Diantara ketiga jenis
kompetensi itu saling menjalin secara terpadu dalam diri guru. Guru yang
terampil mengajar tentu harus pula memiliki pribadi yang baik dan mampu
melakukan social adjustment dalam masyarakat. Ketiga kompetensi tersebut
terpadu dalam karakteristik tingkah laku guru.[2]
Proses
belajar dan hasil belajar para siswa bukan saja ditentukan oleh sekolah, pola,
struktur, dan isi kurikulumnya, akan tetapi sebagian besar ditentukan oleh
kompetensi guru yang mengajar dan membimbing mereka. Guru yang kompeten akan
lebih mampu menciptakan lingkungan belajar yang efektif, menyenangkan, dan akan
lebih mampu mengelola kelasnya, sehingga belajar para siswa berada pada tingkat
optimal.
Guru profesional
yang bekerja melaksanakan fungsi dan tujuan sekolah harus memiliki
kompetensi-kompetensi yang dituntut agar guru mampu melaksanakan tugasnya
dengan sebaik-baiknya. Pada UU Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005
dimensi kompetensi yang harus dimiliki oleh profesi guru adalah[3]:
1. Kompetensi
pedagogik.
a) Kompetensi
menyusun rencana pembelajaran.
b) Kompetensi
melaksanakan proses belajar mengajar.
c) Kompetensi
melaksanakan penilaian proses belajar mengajar.
2. Kompetensi
profesional.
a) Guru
mampu mengelola program belajar mengajar.
b) Kemampuan
mengelola kelas.
c) Guru
mampu menggunakan media dan sumber pengajaran.
d) Guru
menguasai landasan-landasan kependidikan.
e) Guru
mampu mengelola interaksi belajar mengajar.
f) Guru
mampu menilai prestasi belajar siswa.
g) Guru
mengenal fungsi serta program pelayanan bimbingan dan penyuluhan.
h) Guru
mengenal dan mampu ikut penyelenggaraan administrasi sekolah.
i)
Guru memahami prinsip-prinsip penelitian
dan mampu menafsirkan hal-hal penelitian pendidikan untuk kepentingan
pengajaran.
3. Kompetensi
kepribadian.
a) Penampilan
sikap yang positif terhadap keseluruhan tugasnya sebagai guru dan terhadap
keseluruhan situasi pendidikan beserta unsur-unsurnya.
b) Pemahaman,
penghayatan dan penampilan nilai-nilai yang seharusnya dianut oleh guru.
c) Kepribadian,
nilai, sikap hidup ditampilkan dalam upaya menjadikan dirinya sebagai panutan
dan teladan bagi para siswanya.
4. Kompetensi
sosial.
a) Guru
mampu berperan sebagai pemimpin baik dalam lingkup sekolah maupun diluar
sekolah.
b) Guru
bersikap bersahabat dan terampil berkomunikasi dengan siapapun demi tujuan yang
baik.
c) Guru
bersedia ikut berperan serta dalam berbagai kegiatan sosial baik dalam lingkup
kesejawatannya maupun dalam kehidupan masyarakat pada umumnya.
d) Guru
adalah pribadi yang bermental sehat dan stabil.
e) Guru
tampil secara pantas dan rapi.
f) Guru
mampu berbuat kreatif dengan penuh perhitungan.
B. Kode Etik Profesi Keguruan
Setiap profesi harus mempunyai kode etik
profesi. Dengan demikian, jabatan dokter, notaris, arsitek, guru, dan lain-lain
yang merupakan bidang pekerjaan profesi mempunyai kode etik. Secara harfiah,
“kode” artinya aturan, dan “etik” artinya kesopanan (tata susila), atau hal-hal
yang berhubungan dengan kesusilaan dalam mengerjakan suatu pekerjaan. Jadi kode
etik profesi diartikan sebagai tata susila keprofesionalan. Sumaryono
menjelaskan, bahwa kode etik adalah hasil usaha pengarahan kesadaran secara
moral para anggota profesi tentang persoalan-persoalan khusus yang dihadapinya.
Dalam pidato pembukaan PGRI XIII, Basuni
sebagai Ketua Umum PGRI menyatakan bahwa Kode Etik Guru Indonesia merupakan
landasan moral dan pedoman tingkah laku guru warga PGRI dalam melaksanakan
panggilan pengabdiannya bekerja sebagai guru (PGRI, 1973).[4]
Kode
etik guru sesungguhnya merupakan pedoman yang mengatur hubungan guru dengan
teman kerja, murid dan wali murid, pimpinan dan masyarakat serta dengan misi
tugasnya. Menurut Oteng Sutisna (1986 : 364) bahwa pentingnya kode etik guru
dengan teman kerjanya difungsikan sebagai penghubung serta saling mendukung
dalam bidang mensukseskan misi dalam mendidik peserta didik.
Pada dasarnya tujuan merumuskan Kode Etik dalam suatu profesi adalah untuk
kepentungan anggota dan kepentingan organisasi profesi itu sendiri. Secara umum
tujuan mengadakan kode etik adalah sebagai berikut:
1.
Untuk menjunjung
tinggi martabat profesi,
2.
Untuk menjaga
dan memelihara kesejahteraan para anggotanya,
3.
Untuk meningkatkan
pengabdian para anggota profesi,
4.
Untuk
meningkatkan mutu profesi,
5.
Untuk meningkatkan
mutu organisasi profesi.[5]
Sutan Zahri dan Syahmiar Syahrun
(1992) mengemukakan empat fungsi kode etik guru bagi guru itu sendiri, antara
lain :
Ø Agar guru terhindar dari
penyimpangan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
Ø Untuk mengatur hubungan guru dengan
murid, teman sekerja, masyarakat dan pemerintah.
Ø Sebagai pegangan dan pedoman tingkah
laku guru agar lebih bertanggung jawab pada profesinya.
Ø Pemberi arah dan petunjuk yang benar
kepada mereka yang menggunakan profesinya dalam melaksanakan tugas.[6]
Sering
kita jumpai, bahwa ada kalanya negara mencampuri urusan profesi, sehingga
hal-hal yang semula hanya merupakan kode etik dari suatu profesi tertentu dapat
meningkat menjadi peraturan hukum atau undang-undang. Apabila halnya demikian,
maka aturan yang mulanya sebagai landasan moral dan pedoman tingkah laku
meningkat menjadi aturan yang memberikan sanksi-sanksi hukum yang sifatnya
memaksa, baik berupa sanksi perdata maupun sanksi pidana.
Sebagai
contoh dalam hal ini jika seseorang profesi bersaing secara tidak jujur atau
curang dengan sesama anggota profesinya, dan jika dianggap kecurangan itu
serius ia dapat dituntut dimuka pengadilan. Pada umumnya, karena kode etik
adalah landasan moral dan merupakan pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan
maka sanksi terhadap pelanggaran kode etik adalah sanksi moral. Barang siapa
melanggar kode etik akan mendapat celaan dari rekan-rekannya, sedangkan sanksi
yang dianggap terberat adalah si pelanggar dikeluarkan dari organisasi profesi.
Adanya kode etik dalam suatu organisasi profesi tertentu, menandakan bahwa
organisasi profesi itu telah mantap.
Kode
etik guru Indonesia merupakan alat yang sangat penting untuk pembentukan sikap
profesional para anggota profesi keguruan, adapun kode etik guru Indonesia
antara lain:
1. Guru
berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya
yang berjiwa pancasila.
2. Guru
memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional.
3. Guru
berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan
bimbingan dan pembinaan.
4. Guru
menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses
belajar mengajar.
5. Guru
memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk
membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan.
6. Guru
secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan
martabat profesinya.
7. Guru
memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan
sosial.
8. Guru
melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan.[7]
BAB III
KESIMPULAN
Kompetensi
merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang
direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Jadi kompetensi
profesional guru dapat diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan guru dalam
menjalankan profesi keguruannya. Guru yang kompeten dan profesional adalah guru
piawai dalam melaksanakan profesinya. Kompetensi guru selain
bersumber dari bakat guru, unsur pengalaman dan pendidikan juga memegang
peranan yang sangat penting.
Menurut
UU Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005 dimensi kompetensi yang harus dimiliki oleh
profesi guru adalah:
1. Kompetensi
pedagogik
2. Kompetensi
professional
3. Kompetensi
kepribadian
4. Kompetensi
sosial.
Setiap
profesi harus mempunyai kode etik profesi. Dengan demikian, jabatan dokter, notaris,
arsitek, guru, dan lain-lain yang merupakan bidang pekerjaan profesi mempunyai
kode etik. Secara umum tujuan
mengadakan kode etik adalah sebagai berikut:
1.
Untuk menjunjung
tinggi martabat profesi,
2.
Untuk menjaga
dan memelihara kesejahteraan para anggotanya,
3.
Untuk meningkatkan
pengabdian para anggota profesi,
4.
Untuk
meningkatkan mutu profesi,
5. Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi.
DAFTAR PUSTAKA
Hamalik, Oemar. Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan
Kompetensi, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006.
Mulyasa, E. Kurikulum Berbasis Kompetensi, Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2010.
Sarjoni, “Hakikat
Profesi Keguruan”, dari wordpress.com, 01 Oktober 2011.
Soetjipto & Kosasi, Raflis. Profesi
Keguruan, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007.
Sucipto, “Kode Etik Profesi
Keguruan”, dari fkip uns.ac.id, 01 Oktober 2011.
[1]Dr.
E. Mulyasa, M. Pd, Kurikulum Berbasis
Kompetensi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), Cet. 12, h. 38-39.
[2]
Prof. Dr. Oemar Hamalik, Pendidikan Guru
Berdasarkan Pendekatan Kompetensi, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006), Cet. 4,
Hal. 34
[4]
Prof. Soetjipto & Drs. Raflis Kosasi, M. Sc, Profesi Keguruan,
(Jakarta:PT Rineka Cipta, 2007), Cet.4, H.30
[5]
Prof. Soetjipto & Drs. Raflis Kosasi, M. Sc, Profesi Keguruan,
(Jakarta:PT Rineka Cipta, 2007), Cet.4, H.31-32
[6] sucipto.guru.fkip.uns.ac.id/2010/01/06/kode-etik-profesi-keguruan/
[7]
Prof. Soetjipto & Drs. Raflis Kosasi, M. Sc, Profesi Keguruan,
(Jakarta:PT Rineka Cipta, 2007), Cet. 4, H. 34
Tidak ada komentar:
Posting Komentar