MAZHAB ASY’ARIYAH
A. Sejarah
Munculnya Asy’ariyah
Asy’ariyah adalah salah satu aliran
dalam teologi yang namanya dnisbatkan kepada nama pendirinya, yaitu Hasan Ali
bin Ismail Al-Asy’ari. Ia lahir di kota Basrah pada tahun 280 H/873 M, dan
wafat di Baghdad tahun 324 H/938 M. Ia merupakan keturunan sahabat besar Nabi
yang bernama Abu Musa Al-Asy’ari seorang delegasi pihak Ali r.a. dalam
peristiwa tahkim.
Dalam belajar agama, ia mula-mula
berguru kepada Abu Ali Al-Jubai salah seorang pendekar Mu’tazilah. Sejak
awalnya Asy’ari mengikuti paham Mu’tazilah
hingga usia 40 tahun. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa Al-Asy’ari
sangat memahami dan menguasai paham kemu’tazilahan.
Ia sering diberi kepercayaan oleh gurunya untuk juru bicara debat tentang
Mu’tazilah dengan pihak lain.[1]
Meskipun ia sangat menguasai paham
Mu’tazilah, keraguan selalu muncul dalam dirinya tentang Mu’tazilah, keraguan
selalu muncul dalam dirinya tentang Mu’tazilah tersebut dan ia merasa tidak
puas. Setelah merenung selama sekitar 15 hari, akhirnya ia memutuskan keluar
dari Mu’tazilah. Peristiwa itu terjadi ketika ia berusia sekitar 40 tahun,
menjelang akhir hayat Al-Jubba’i. Ia naik ke mimbar dan berpidato,
“Saudara-saudara, setelah saya meneliti dalil-dalil yang dikemukakan oleh
masing-masing pendapat, ternyata dalil-dalil itu, menurut hemat saya, sama
kuatnya. Saya memohon kepada Allah SWT agar diberi petunjuk jalan yang benar.
Oleh sebab itu, atas petunjuk Allah SWT saya sekarang meninggalkan
keyakinan-keyakinan lama dan menganut keyakinan baru. Keyakinan lama saya
lepaskan sebagaimana saya melepaskan baju yang saya kenakan ini.”
Sejak itu, Al-Asy’ari gigih
menyebarluaskan paham barunya sehingga terbentuk mazhab baru dalam teologi
Islam yang dikenal dengan nama Ahlussunnah wal jamaah. Pengikut Al-Asy’ari
sendiri sering disebut pula Asy’ariyah.[2]
B. Pokok-Pokok
Ajaran Asy’ariyah
Adapun pokok-pokok
ajaran Asy’ariyah antara lain adalah:
1. Sifat
Tuhan
Menurut ajaran
Asy’ariyah, Tuhan mempunyai sifat-sifat sebagaimana disebutkan didalam
Al-Qur’an, seperti Allah mengetahui dengan Ilmu,
berkuasa dengan Qudrat, hidup dengan Hayat dan seterusnya.
2. Perbuatan
manusia
Perbuatan manusia
menurut aliran Asy’ariyah adalah diciptakan Tuhan, bukan diciptakan oleh
manusia itu sendiri. Untuk mewujudkan suatu perbuatan, manusia membutuhkan dua
daya, yaitu daya Tuhan dan daya manusia. Hubungan perbuatan manusia dengan
kehendak Tuhan yang mutlak dijelaskan melalui teori Kasb, yakni berbarengnya
kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan. Al-Kasb mengandung arti keaktifan.
Karena itu, manusia bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya.
3. Pelaku
dosa besar
Menurut Asy’ari,
seorang muslim yang melakukan perbuatan dosa besar dan meninggal dunia sebelum
sempat bertaubat, tetap dihukumi mukmin, tidak kafir, tidak pula berada
diantara mukmin dan kafir, dan di akhirat terserah Allah SWT dengan beberapa
kemungkinan:
a. Ia
mendapat ampunan dari Allah dengan rahmat-Nya sehingga pelaku dosa besar
tersebut memasukkannya kedalam surga.
b. Ia
mendapat syafaat dari Nabi Muhammad SAW sesuai dengan sabda beliau:
“Syafaatku adalah untuk
umatku yang melakukan dosa besar”
c. Allah
memberikan hukuman kepadanya dengan dimasukkan kedalam siksa neraka sesuai
dengan dosa besar yang dilakukannya, kemudian dia memasukkannya ke surga.
4. Keadilan
Tuhan
Al-Asy’ari menolak
paham Mu’tazilah mengenai keadilan Tuhan. Menurut Asy’ari, Tuhan tidak mempunyai
kewajiban apapun. Tuhan tidak wajib memasukkan orang, baik ke surga ataupun
neraka. Semua itu merupakan kehendak mutlak Tuhan, sebab Tuhanlah yang berkuasa
dan segala-galanya adalah milik Allah. Jika Tuhan memasukkan seluruh manusia ke
dalam surga, bukan berarti Ia tidak adil. Sebaliknya jika Tuhan memasukkan
seluruh manusia kedalam neraka, bukan berarti Ia zalim. Tuhan adalah penguasa
mutlak dan tidak ada yang lebih kuasa. Ia dapat dan boleh melakukan apa saja
yang dikehendaki-Nya.
5. Melihat
Tuhan
Al-Asy’ari berpendapat,
Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala manusia di akhirat kelak. Dasarnya
antara lain adalah firman Allah dalam surat al-Qiyamah ayat 22-23:
“Wajah-wajah orang
mukmin pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhan mereka melihat”.
6. Al-Qur’an
Menurut Al-Asy’ari,
al-Qur’an adalah qadim, bukan makhluk (diciptakan). Hal ini didasarkan pada
surat an-Nahl ayat 40:
“Sesungguhnya perkataan
Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami mengatakan kepadanya,
“Kun (jadilah)” maka jadilah ia”.
Beberapa pokok ajaran
Asy’ariyah diatas menunjukkan bahwa ia menolak paham-paham Mu’tazilah yang
sebelumnya dianutnya. Semua pendapat yang dilontarkannya diatas merupakan
kebalikan dari pendapat Mu’tazilah.[3]
C. Tokoh-Tokoh
Asy’ariyah
Tokoh
besar dan pengikut al-Asy’ari (Asy’ariyah) sangat banyak. Diantara tokoh yang
sangat berjasa mengembangkan paham al-Asy’ari ini adalah:
1. Abu
Bakar Muhammad bin Thayyib bin Muhammad Abu Bakar al-Baqilani.
2. Abu
al-Ma’ali Abdul Malik al-Juwaini.
3. Abu
Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar