Sabtu, 21 April 2012

Mazhab Asy'ariyah

MAZHAB ASY’ARIYAH
A.       Sejarah Munculnya Asy’ariyah
Asy’ariyah adalah salah satu aliran dalam teologi yang namanya dnisbatkan kepada nama pendirinya, yaitu Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari. Ia lahir di kota Basrah pada tahun 280 H/873 M, dan wafat di Baghdad tahun 324 H/938 M. Ia merupakan keturunan sahabat besar Nabi yang bernama Abu Musa Al-Asy’ari seorang delegasi pihak Ali r.a. dalam peristiwa tahkim.
Dalam belajar agama, ia mula-mula berguru kepada Abu Ali Al-Jubai salah seorang pendekar Mu’tazilah. Sejak awalnya Asy’ari mengikuti paham Mu’tazilah hingga usia 40 tahun. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa Al-Asy’ari sangat memahami dan menguasai paham kemu’tazilahan. Ia sering diberi kepercayaan oleh gurunya untuk juru bicara debat tentang Mu’tazilah dengan pihak lain.[1]
Meskipun ia sangat menguasai paham Mu’tazilah, keraguan selalu muncul dalam dirinya tentang Mu’tazilah, keraguan selalu muncul dalam dirinya tentang Mu’tazilah tersebut dan ia merasa tidak puas. Setelah merenung selama sekitar 15 hari, akhirnya ia memutuskan keluar dari Mu’tazilah. Peristiwa itu terjadi ketika ia berusia sekitar 40 tahun, menjelang akhir hayat Al-Jubba’i. Ia naik ke mimbar dan berpidato, “Saudara-saudara, setelah saya meneliti dalil-dalil yang dikemukakan oleh masing-masing pendapat, ternyata dalil-dalil itu, menurut hemat saya, sama kuatnya. Saya memohon kepada Allah SWT agar diberi petunjuk jalan yang benar. Oleh sebab itu, atas petunjuk Allah SWT saya sekarang meninggalkan keyakinan-keyakinan lama dan menganut keyakinan baru. Keyakinan lama saya lepaskan sebagaimana saya melepaskan baju yang saya kenakan ini.”
Sejak itu, Al-Asy’ari gigih menyebarluaskan paham barunya sehingga terbentuk mazhab baru dalam teologi Islam yang dikenal dengan nama Ahlussunnah wal jamaah. Pengikut Al-Asy’ari sendiri sering disebut pula Asy’ariyah.[2]
B.       Pokok-Pokok Ajaran Asy’ariyah
Adapun pokok-pokok ajaran Asy’ariyah antara lain adalah:
1.    Sifat Tuhan
Menurut ajaran Asy’ariyah, Tuhan mempunyai sifat-sifat sebagaimana disebutkan didalam Al-Qur’an, seperti Allah mengetahui dengan Ilmu, berkuasa dengan Qudrat, hidup dengan Hayat dan seterusnya.
2.    Perbuatan manusia
Perbuatan manusia menurut aliran Asy’ariyah adalah diciptakan Tuhan, bukan diciptakan oleh manusia itu sendiri. Untuk mewujudkan suatu perbuatan, manusia membutuhkan dua daya, yaitu daya Tuhan dan daya manusia. Hubungan perbuatan manusia dengan kehendak Tuhan yang mutlak dijelaskan melalui teori Kasb, yakni berbarengnya kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan. Al-Kasb mengandung arti keaktifan. Karena itu, manusia bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya.
3.    Pelaku dosa besar
Menurut Asy’ari, seorang muslim yang melakukan perbuatan dosa besar dan meninggal dunia sebelum sempat bertaubat, tetap dihukumi mukmin, tidak kafir, tidak pula berada diantara mukmin dan kafir, dan di akhirat terserah Allah SWT dengan beberapa kemungkinan:
a.    Ia mendapat ampunan dari Allah dengan rahmat-Nya sehingga pelaku dosa besar tersebut memasukkannya kedalam surga.
b.    Ia mendapat syafaat dari Nabi Muhammad SAW sesuai dengan sabda beliau:
“Syafaatku adalah untuk umatku yang melakukan dosa besar”
c.    Allah memberikan hukuman kepadanya dengan dimasukkan kedalam siksa neraka sesuai dengan dosa besar yang dilakukannya, kemudian dia memasukkannya ke surga.
4.    Keadilan Tuhan
Al-Asy’ari menolak paham Mu’tazilah mengenai keadilan Tuhan. Menurut Asy’ari, Tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun. Tuhan tidak wajib memasukkan orang, baik ke surga ataupun neraka. Semua itu merupakan kehendak mutlak Tuhan, sebab Tuhanlah yang berkuasa dan segala-galanya adalah milik Allah. Jika Tuhan memasukkan seluruh manusia ke dalam surga, bukan berarti Ia tidak adil. Sebaliknya jika Tuhan memasukkan seluruh manusia kedalam neraka, bukan berarti Ia zalim. Tuhan adalah penguasa mutlak dan tidak ada yang lebih kuasa. Ia dapat dan boleh melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya.
5.    Melihat Tuhan
Al-Asy’ari berpendapat, Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala manusia di akhirat kelak. Dasarnya antara lain adalah firman Allah dalam surat al-Qiyamah ayat 22-23:
“Wajah-wajah orang mukmin pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhan mereka melihat”.
6.    Al-Qur’an
Menurut Al-Asy’ari, al-Qur’an adalah qadim, bukan makhluk (diciptakan). Hal ini didasarkan pada surat an-Nahl ayat 40:
“Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami mengatakan kepadanya, “Kun (jadilah)” maka jadilah ia”.
Beberapa pokok ajaran Asy’ariyah diatas menunjukkan bahwa ia menolak paham-paham Mu’tazilah yang sebelumnya dianutnya. Semua pendapat yang dilontarkannya diatas merupakan kebalikan dari pendapat Mu’tazilah.[3]
C.       Tokoh-Tokoh Asy’ariyah
Tokoh besar dan pengikut al-Asy’ari (Asy’ariyah) sangat banyak. Diantara tokoh yang sangat berjasa mengembangkan paham al-Asy’ari ini adalah:
1.    Abu Bakar Muhammad bin Thayyib bin Muhammad Abu Bakar al-Baqilani.
2.    Abu al-Ma’ali Abdul Malik al-Juwaini.
3.    Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali.


[1] Drs. H. Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), Cet. 1, Hal. 179
[2] Drs. H.M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. 4, Hal. 122
[3] Ibid, Hal. 123-126

Tidak ada komentar:

Posting Komentar