Sabtu, 21 April 2012

Ibnu Miskawaih

IBNU MISKAWAIH
A.      Biografi
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Ahmad ibn Muhammad ibn Ya’qub ibn Miskawaih. Ia lahir di kota Ray (Iran) pada 320 H (932 M) dan wafat di Asfahan pada 9 Safar 421 H (16 Februari 1030 M). Ia belajar sejarah kepada Abu Bakar Ahmad ibn Kamil al-Qadhi (350/960) tentang buku Tarikh al-Thabari, dan belajar filsafat kepada Ibn al-Khammar, seorang komentator terkenal mengenai filsafat aristoteles.
Perihal kemajusiannya, sebelum Islam, banyak dipersoalkan oleh pengarang, Jurji Zaidan misalnya ada pendapat bahwa ia adalah Majusi, lalu memeluk Islam. Sedangkan Yaqut dan pengarang Dairah al-Ma’arif al-Islamiyyah kurang setuju dengan pendapat itu. Menurut mereka, neneknyalah yang Majusi, kemudian memeluk Islam. Artinya Ibn Miskawaih sendiri lahir dalam keluarga Islam, sebagai terlihat dari nama bapaknya, Muhammad.
Ia juga diduga beraliran syi’ah, karena sebagian besar usianya dihabiskan untuk mengabdi kepada pemerintah Dinasti Buwaihi. Ketika muda, ia mengabdi kepada Al-Muhallabi, wazirnya pangeran Buwaihi yang bernama Mu’iz al-Daulah di Baghdad. Setelah wafatnya Al-Muhallabi pada 352 H (963 M), dia berupaya dan akhirnya diterima oleh Ibn al-‘Amid, wazirnya saudara Mu’iz al-Daulah yang bernama Rukn al-Daulah yang berkedudukan di Ray.
Kendati disiplin ilmunya meliputi kedokteran, bahasa, sejarah, dan filsafat, tetapi ia lebih populer sebagai filsuf akhlak (al-falsafah al-‘amaliyyah), ketimbang sebagai filsuf ketuhanan (al-falsafah al-nazhariyyah al-Ilahiyyah). Agaknya ini dimotivasi oleh situasi masyarakat yang kacau dimasanya, sebagai akibat minuman keras, perzinahan, hidup glamor, dan lain-lain.[1]
B.       Karyanya
Beberapa karyanya yang dapat dicatat adalah:
1.         Al-Fauz al-Akbar;
2.         Al-Fauz al-Ashgar;
3.         Tajarib al-Umam (sebuah sejarah tentang banjir besar yang ditulisnya pada tahun 369 H/979 M);
4.         Uns al-Farid (koleksi anekdot, sya’ir, pribahasa, dan kata-kata hikmah);
5.         Tartib al-Sa’adah (tentang akhlak dan politik);
6.         Al-Mustaufa (sya’ir-sya’ir pilihan);
7.         Jawidan Khirad (koleksi ungkapan bijak);
8.         Al-Jami’;
9.         Al-Siyar (tentang tingkah laku kehidupan);
10.     On the Simple Drugs (tentang kedokteran);
11.     On the Composition of the Bajats (seni memasak);
12.     Kitab al-Asyribah (tentang minuman);
13.     Tahzib al-Akhlaq (tnetang akhlak);
14.     Dan lain-lain
C.      Filsafatnya
1.    Metafisika
Ibn Miskawaih tidak memberikan perhatian besar terhadap masalah ketuhanan, karena pada masanya tidak banyak lagi diperbincangkan masalah tersebut. Dengan demikian pemikirannya tidak banyak berbeda dengan pemikiran filsuf sebelumnya, terutama Al-Farabi dan Al-Kindi. Hal ini tampak bahwa Tuhan menurut Miskawaih adalah zat yang tidak berjisim, azali dan pencipta. Tuhan esa dalam segala aspek. Tuhan tidak terbagi-bagi karena tidak mengandung kejamakan dan tidak satupun yang setara dengan-Nya. Tuhan ada tanpa diadakan, dan ada-Nya tidak tergantung kepada yang lain, sedangkan yang lain membutuhkan-Nya.
Tuhan bagi Ibn Miskawaih adalah zat yang jelas dan zat yang tidak jelas. Dikatakan zat yang jelas karena Tuhan adalah Yang Haq (benar) berarti terang. Dikatakan tidak jelas, karena kelemahan akal untuk menangkap-Nya disebabkan banyaknya dinding-dinding atau kendala kebendaan yang menutupi-Nya. Tentu saja ketidaksamaan wujud manusia dengan wujud Tuhan menjadi pembatas.
Menurut Ibn Miskawaih, entitas pertama yang memancar dari Tuhan ialah ‘Aql Fa’al (Akal Aktif). Akal Aktif ini tanpa perantara sesuatu pun. Ia kekal, sempurna, dan tak berubah. Dari akal aktif ini timbul jiwa dan dengan perantara jiwa pula timbul planet (al-falak). Pancaran yang terus-menerus dari Tuhan dapat memelihara tatanan di alam ini, sekiranya pancaran Tuhan dimaksud terhenti, maka berakhirlah kemaujudan dan kehidupan di alam ini.
Berdasarkan pendapat Ibn Miskawaih diatas, maka dapat ditarik perbedaan pendapatnya dengan Al-Farabi, sebagai berikut:
a.    Bagi Ibn Miskawaih, Tuhan menjadikan alam ini secara emanasi dari tiada (ex nihilo) menjadi ada. Sedangkan menurut Al-Farabi, alam dijadikan Tuhan secara pancaran dari sesuatu atau bahan yang sudah ada menjadi ada.
b.    Bagi Ibn Miskawaih, captaan Tuhan yang pertama adalah akal aktif. Sedangkan bagi Al-Farabi ciptaan Tuhan yang pertama adalah akal 1 dan akal aktif adalah akal kesepuluh.
2.    Kenabian
Adapun masalah kenabian, tampaknya tidak ada perbedaan pendapat antara Ibn Miskawaih dan Al-Farabi dalam memperkecil perbedaan Nabi dengan filsuf, sekaligus untuk memperkuat hubungan akal dengan wahyu. Semua manusia membutuhkan Nabi sebagai sumber informasi untuk mengetahui sifat-sifat keutamaan dan yang terpuji dalam kehidupan praktis. Nabi adalah pembawa ajaran suci dari Tuhan.
Menurut Ibn Miskawaih, Nabi adalah manusia pilihan yang memperoleh hakikat-hakikat kebenaran, karena pengaruh Akal Aktif atas daya imajinasinya. Hakikat-hakikat yang sama diperoleh juga oleh filsuf. Perbedaan terletak pada cara memperolehnya. Para filsuf memperoleh kebenaran dari bawah ke atas, yaitu dari daya inderawi naik ke daya khayal, dan naik lagi ke daya pikir sehingga dapat berhubungan dan menangkap hakikat-hakikat kebenaran dari Akal Aktif. Sedangkan para Nabi memperoleh langsung dari Akal Aktif sebagai rahmat Tuhan. Jadi, sumber kebenaran yang diperoleh oleh Nabi dan filsuf adalah sama, yaitu Akal Aktif. Pemikiran ini sejalan dengan Al-Farabi. Oleh karena kebenaran itu satu, baik yang pada Nabi maupun yang ada pada filsuf, maka yang paling awal menerima dan mengakui apa yang dibawa Nabi adalah filsuf, karena Nabi membawa ajaran yang tidak bertentangan dengan akal. Manusia perlu kepada Nabi untuk mengetahui hal-hal yang bermanfaat yang dapat membawanya kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat.
3.    Moral
Menurut Ibn Miskawaih, moral atau akhlak adalah suatu sikap mental (halun li al-Nafs) yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berfikir dan pertimbangan. Sikap mental ini terbagi dua; ada yang berasal dari watak dan ada yang berasal dari kebiasaan dan latihan. Dengan demikian, sangat penting menegakkan akhlak yang benar dan sehat. Sebab dengan landasan yang begitu akan melahirkan perbuatan-perbuatan baik tanpa kesulitan.
Akhlak terpuji sebagai manisfestasi dari watak tidak benyak dijumpai, yang terbanyak adalah mereka yang memiliki sifat-sifat kurang terpuji karena watak. Karena itu, menurut beliau kebiasaan atau latihan-latihan dan pendidikan dapat membantu seseorang untuk memiliki sifat-sifat terpuji tersebut, sebaliknya juga akan membawa orang kepada sifat tercela.
Ibnu Miskawaih menolak pendapat yang mengatakan akhlak yang berasal dari watak tidak mungkin berubah. Oleh beliau ditegaskan kemungkinan perubahan akhlak itu terutama melalui pendidikan. Dengan demikian, dijumpai ditengah masyarakat ada orang yang memiliki akhlak yang dekat kepada malaikat dan ada pula yang lebih dekat kepada hewan. Pemikiran seperti ini sejalan dengan ajaran Islam, Al-Qur’an dan Hadits sendiri menyatakan secara gamblang bahwa kedatangan Rasulullah SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak. hal ini terlihat dari salah satu tujuan ibadah adalah pembentukan akhlak yang pada gilirannya akan memperbaiki tingkah laku mayarakat.
Mengingat pentingnya pembinaan akhlak, Ibn Miskawaih memberikan perhatian yang besar terhadap pendidikan anak-anak. Ia menyebutkan bahwa pada masa kanak-kanak merupakan mata rantai jiwa hewan dengan jiwa manusia berakal. Pada jiwa anak berakhirlah ufuk hewani, dan ufuk manusiawi dimulai. Karena itu, anak-anak harus dididik akhlak mulia dengan menyesuaikan rencana-rencananya dengan urutan daya-daya yang ada pada anak-anak, yaitu daya keinginan, daya marah, daya berpikir. Dengan daya keinginan, anak-anak dididik dalam hal adab makan, minum dan berpakaian, serta lainnya. Lalu sifat berani, kendali diri diterapkan untuk mengarahkan daya marah. Kemudian daya berpikir dilatih dengan menalar, sehingga akal pada akhirnya dapat menguasai segala tingkah laku.
4.    Sejarah
Adapun pemikiran Ibn Miskawaih tentang sejarah bersifat filosofis, ilmiah, dan kritis. Menurutnya, sejarah bukanlah sekedar narasi yang hanya mengungkapkan keberadaan diri raja-raja dan menghiburnya, tetapi lebih jauh merupakan pencerminan struktur politik, ekonomi masyarakat pada masa tertentu. Atau dapat dikatakan bahwa sejarah merupakan rekaman bangsa-bangsa atau negara-negara tentang pasang surut kebudayaannya. Sejarah tidak hanya mengumpulkan kenyataan-kenyataan yang telah lampau menjadi suatu kesatuan organik, tetapi juga menentukan bentuk sesuatu yang akan datang.


[1] Dr. Hasyimsyah Nasution, MA. Filsafat Islam, (Jakarta:Gaya Media Pratama, 2002), Cet.3, Hal. 57.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar